HISTORIOGRAFI G.W.F. HEGEL: STUDI KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN DAN KARYA NYA MENGENAI GERAK SEJARAH
HISTORIOGRAFI
FILSAFAT SEJARAH G.W.F. HEGEL: KAJIAN STUDI KRITIS KARYANYA
MAKALAH
Diajukan untuk
Memenuhi Sala-Satu Tugas Pada Mata Kuliah Historiografi Umum
Dosen pengampu : Drs. Fajriudin Muttaqin, M.Ag
Wahyu Iryana, M.Ag
Oleh:
Ibnu Hisyam Asyari NIM: 1145010058
PROGRAM STUDI
SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN
HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim.
Puji serta syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan karunia serta
nikmat yang begitu melimpah, dan berkat ridho-Nya Alhamdulillah tugas ini dapat
selesai tepat waktu. Tidak lupa sholawat serta salam penulis curahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, dan kepada para sahabatnya dan kepada
kita semua selaku umatnya.
Setelah melawati
proses yang panjang, akhirnya makalah yang berjudul: Historiografi Filsafat
Sejarah G.W.F. Hegel (Studi Kritis Karyanya) ini dapat selesai tepat pada
waktunya. Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas
pada mata kuliah Historiografi Umum.
Mengingat begitu
pentingnya legalitas suatu karya tulis ilmiah, maka dengan adanya kata
pengantar ini. Menunjukan bahwa karya tulis ilmiah ini adalah benar hasil dari
studi pustaka yang penulis lakukan.
Bandung, 08
Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR—i
DAFTAR ISI—ii
BAB I PENDAHULUAN—1
1.1 Latar Belakang—1
1.2 Rumusan masalah—2
1.3 Tujuan Penulisan—2
1.4 Metode Penelitian—2
BAB II
PEMBAHASAN—3
2.1. Biografi Georg Wilhelm Friederick Hegel —3
2.2. Studi Kritis atas Konsepsi dasar pemikiran Hegel —4
2.3 Studi Kritis dari Pemikiran Filsafat Sejarah Hegel—10
BAB III PENUTUP—15
DAFTAR PUSTAKA—16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Sejarah
merupakan peristiwa atau kejadian pada masa lampau. Inilah pengertian yang
biasa kita ketahui sejak kita mulai mengenal sejarah. Namun, apabila kita
memandang sejarah bukanlah hanya masa lampau saja, tetapi sejarah pun menjadi
unsur perubahan dari masa ke masa. Sejarah merupakan salah satu
pencerminan perubahan dalam kehidupan yang lebih baik.
Tidak hanya itu, sejarah juga
dapat menjadi sebagai subjek kajian dalam aktivitas manusia dan sesuatu yang
signifikan terhadap sosial melalui sejarah dari sudut pandang filasafat, yang
mana disebut dengan fisafat sejarah. Filsafat sejarah adalah komponen yang
secara umum tidak dapat dipisahkan dari rangkaian keilmuan filsafat. Karena
kajian sejarah yang dipahami merupakan bagian integral dari sudut pandang
filsafat itu sendiri.
Abad ke-19 adalah abad ketika filsafat sejarah metafisika
yang paling kaya warna mampu berkembang sepenuhnya dan membawa seluroh hasil
yang dipetik teori-teori besar tentang hakikat perkembangan sejarah dan nasib
manusia.Pada abad ini filsafat menjadi sesuatu yang semarak, eksplosif, dan
revolusioner dalam pemikiran formal sejak terjadi benturan antara rasionalisme
dan kristianitas tradisional. Pada masa ini,terjadi pembongkaran secara
sistematis atas metode dan pandangan filsafat tradisional. Meskipun demikian,
karakteristik filsafat pada abad ke-19 yang cenderung mengangkat
filsafat-filsafat besar tentang sejarah dan hukum-hukum perkembangan sejarah.
Dalam filsafat sejarah ini bertujuan memperjelas dan
menganalisis gagasan-gagasan tentang sejarah. .Dengan demikian, beberapa
tokoh bermunculan dari ranah filsafat sejarah, dan Hegel adalah salah satu
yang termasuk didalamnya. Untuk selanjutnya kita akan membahas tentang Hegel,
filsafat yang berkaitan dengan sejarah.
Georg Wilhelm Friederick Hegel atau biasa dikenal dengan
Hegel lahir di stuttgart pada tahun
1770. Hegel adalah salah satu filsuf idealisme pada Abad ke-19. Diantara filsuf idealisme lainnya Hegel lah
yang paling mencolok, karena usahanya yang mensintesiskan pemikiran kedua
filsuf sebelumnya yaitu Fichte dan Schelling dengan metode dialetikanya.[1]
Hegel dikenal sebagai filsuf yang menggunakan dialektika
sebagai metode berfilsafat. Dialektika menurut Hegel adalah dua hal yang
dipertentangkan lalu didamaikan, atau biasa dikenal dengan tesis (pengiyaan),
antitesis (pengingkaran) dan sintesis (kesatuan kontradiksi). Pengiyaan harus
berupa konsep pengertian yang empris indrawi.[2]
Pengertian yang terkandung di dalamnya berasal dari kata-kata sehari-hari,
spontan, bukan reflektif, sehingga terkesan abstrak, umum, statis, dan
konseptual.
Bagi Hegel, Roh yang memikirkan dirinya sendiri adalah
realitas yang terdapat proses pengenalan diri yang terjadi melalui kesadaran
diri manusia. Filsafat Hegel umumnya dianggap titik puncak perkembangan
idealisme pasca Kantian di Jerman. Filsafatnya jelas merupakan salah satu dari
sistem-sistem pemikiran yang paling berpengaroh pada abad ke-19. Tanpa Hegel,
Marxisme tak akan terbayangkan. Karena itu, tanpanya konflik-konflik ideologi
pada zaman sekarang pun akan sulit dibayangkan. Selain itu, Hegel juga telah
menimbulkan banyak pengaroh lain yang luas jangkauannya terhadap pemikiran
modern, yang bukan hanya mencakup filsafat, namun juga teori sosial, hokum dan
tentunya yang akan kita bahas yakni dibidang sejarah.
1.2
Rumusan Masalah
Dilihat dari latar belakang
diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana biografi dari Georg
Wilhelm Friederick Hegel?
2. Bagaimana studi kritis atas konsepsi
dasar dari pemikiran Hegel?
3. Bagaimana studi kritis dari pemikiran
filsafat sejarah Hegel?
1.3 Tujuan Penulisan
Dilihat dari rumusan masalah diatas, maka tujuan masalah
dalam penulisan makalah ini, adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui biografi dari Georg Wilhelm Friederick Hegel.
2. Untuk
mengetahui studi kritis atas konsepsi dasar dari pemikiran Georg Wilhelm
Friederick Hegel.
3. Untuk
mengetahui studi kritis dari pemikiran filsafat sejarah Georg Wilhelm
Friederick Hegel.
1.4 Metode Penelitian
Dalam
penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode atau cara kajian pustaka
dengan mengumpulkan sumber sumber data berupa buku-buku mengenai Filsafat
Sejarah G.W.F. Hegel dan juga sumber sumber tambahan dari internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Biografi Georg Wilhelm Friederick Hegel
Hegel memiliki nama lengkap George Wilhelm Friedrich Hegel.
Ia lahir tanggal 27 Agustus 1770 di Stuttgart, dan meninggal pada tanggal 12
Nopember 1831. Jadi, ia sezaman dengan Goethe. Dari dua tokoh ini, dapat
dicatat bahwa Goethe membuat sastra Jerman menjadi sastra dunia, sedangkan
Hegel membuat filsafat Jerman menjadi filsafat dunia.[3]
Hegel berasal dari sebuah keluarga pegawai negeri sipil yang
cukup mapan, ayahnya merupakan pekerja dikantor keuangan kerajaan Wurtenberg.
Hegel semasa kecil sempat dikhawatirkan tidak hidup lama, karena sakit-sakitan
dan pernah kena penyakit cacar sebelum berusia enam tahun. Dimasa kecil, Hegel
sudah disosialisasikan untuk banyak membaca oleh ibunya.
Pada tahun 1788 Hegel menjadi mahasiswa filsafat dan teologi
yang diperolehnya dari Universitas Tubingen. Waktu itu, di Universitas ini ada
dua pemikir yang sangat terkenal, yaitu Friedrich Hoderlin dan Schelling.
Melalui dua tokoh ini Hegel sangat berantusias mendiskusikan Filsafat Rousseau,
Schiller, dan Kant. Dari Tubingen pindah ke Swittzerland kenudian memperdalam
filsafat pengetahuan di Frankfrut.
Karir akademik Hegel dimulai pada tahun 1808, yakni sebagai
tenaga pengajar pada Universitas Jena. Di sinilah ia bersentuhan dengan
filsafat secara intens. Pada tahap awal di Universitas Jena ini Hegel masih
terbayang-bayang kebesaran Fichte dan Schelling. Hal ini terbukti dengan
karyannya “Difference between the Philophical System of Fichte and
Schelling”.
Namun, dengan kerja kerasnya, ia dapat mempertegas jati
dirinya sebagai filosof yaitu dengan melahirkan karya “The Phonomenologi of
Spirit” pada tahun 1907. Karier akademiknya semakin menanjak pada tahun
1818 dengan diangkatnya sebagai guru besar di Berlin menggantikan Fichte.
Dalam bidang Ilmu Sejarah, Hegel sebagai filsuf ulung pada
masa itu juga menuliskan pemikirannya mengenai filsafat sejarah yang merupakan
jantung dari Filsafat Hegel sendiri. Yang karya nya kita kenal dengan “The
Philosophy of History” pada tahun
1816. Dan buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul
Filsafat Sejarah G.W.F. Hegel oleh Cuk Ananta Wijaya pada tahun 2001.
Hegel meninggal pada tanggal 14 Nopember 1831 akibat serangan
kolera. Selama periode ini, dia menempati posisi di puncak klasemen dalam dunia
filsafat, tidak hanya di Berlin, namun juga diseluroh Jerman. Seolah ia sebagai
filosof resmi, pengarohnya diperoleh berkat pembuktian dan pengabdian yang
tanpa kompromi untuk memurnikan pemikiran, yang dipandu dengan kemampuannya
menyusun ruang lingkup dan jalan dialetikannya.
2.1.1
Karya-karya Hegel
1. Difference between the
Philophical System of Fichte and Schelling.
2. The Phonomenologi of
Spirit.
3. The Encylopedia of
Philophical Science (1817).
4. Aesthetics: The
Philosophy of History, The Science of Logic. (1812-1816).
5. The Philoshophy of Right
and Law (1821).
6. The History of
Philosophy dan Political Essays.
7. The Basis of Morality tahun
(1814).
8. On the Will in Nature
tahun (1819).
9. The World as Will and
Idea pada tahun (1819).
10. On the
Fourfold Root of the Principle of
Sufficient Reason pada tahun (1813).[4]
2.2
Studi Kritis atas Konsepsi dasar pemikiran Hegel
Filsafat Hegel sangat sulit dipahami, dialah filsuf yang
paling sukar dipahami diantara semua filsuf besar. Dari minat awalnya terhadap
mistisme, ia mempertahankan keyakinan terhadap ketidaknyataan bagian dunia.
Dalam pandangannya, dunia bukanlah kumpulan unit-unit keras, baik atom atau
jiwa, yang masing-masing berdiri sendiri. Kemandirian benda-benda terbatas yang
tampak jelas itu, dipandang olehnya, sebagai ilusi. Bagi Hegel, tidak ada yang
sungguh-sungguh nyata, kecuali keselurohan (The Whole).[5]
Itulah Sala-satu contoh bagaimana pemikiran Hegel yang sulit dipahami oleh
orang awam. Ambisi Hegel adalah menyusun suatu sistem filsafat sintesis. Kalau
Aristoteles boleh disebut sebagai filusuf yang berhasil menyintesiskan
pemikiran-pemikiran Yunani dan Thomas Aquinas melalui Summa Teologica nya yang berhasil menyatukan pengetahuan abad
pertengahan, maka Hegel berusaha pula menyatukan Ilmu dan Filsafat abad 19.[6]
Ada dua hal yang membuat Hegel berbeda dengan filsuf-filsuf
lain, yakni penekannya terhadap logika dan gerakan tritunggal yang bisa disebut
“metode dialetika”.[7]
2.2.1 Rasionalisme Hegel
Realitas dari Hegel adalah Roh dan Alam semesta dalam
beberapa hal adalah produk dan pikiran sehingga hal itu dapat dimengerti oleh
pikiran. Dengan demikian, filsafat Hegel lebih tepat dikarekteristikan dengan
julukan “Rasionalis”.
Hegel membangun filsafatnya dari suatu keyakinan dasar
tentang kesatuan (unity). Universe sebagai simbol kesatuan adalah manifestasi
dari “yang Mutlak” ( The Absolut). Dalam hal ini yang parsial tidak diartikan
sebagi ilusi, namun yang Prasial hadir sebagai tahap perkembangan menuju ke
kesatuan, sehingga yang prasial hanya dapat dimengerti dalam kerangka
persatuan. Yang mutlak bukan sebagai The Thing in Itself (ada dalam dirinya
sendiri), bukan sesuatu kekuatan yang transenden dan bukan pula ego subjektif;
yang mutlak adalah proses dunia dalam dunia dalam dirinya sendiri (a process
world itself) yang aktif, dan Hegel menyebutnya ide absolut.[8]
Hegel menginginkan suatu fisafat tentang yang absolut atau
bahkan suatau filsafat absolut. Meneurut pendapatnya, Kant,Fitche dan Sceliing
masih terlalu relatif dan hanya membahas sebagian dan realitas. Hegel ingin
mengatasi mereka dan sesekali menerima unsur-unsur kebenaran dalam filsafat
mereka. “Das Wahre Ist Das Ganze”
kata Hegel yang artinya kebenaran harus disamakan dengan keselurohan, kebenaran
mencakup segala sesuatu yang ada. Dalam pandangannya semua unsur kebenaran dan
filsafat-filsafat masa lalu telah mendapat tempatnya dalam sistemnya yang
absolut dan dapat di manfaatkan dalam suatu sintesa Filosofis yang lebih
tinggi.
Diktum Hegel yang terkenal adalah Alles vernunfitge Ist Wirklich und wirkuhce ist Vernunftig yang
mempunyai arti segala yang rasional adalah real dan segala yang real adalah
rasional. Jadi struktur pemikiran sama dengan struktrur kenyataan atau ide yang
dimengerti dari kenyataan itu adalah sama.
Karena proses gerak pemikiran adalah sama dengan proses
gerak kenyataan, maka hal itu menunjukan hilangnya perbedaan rasio dan
realitas. Dengan demikian, pengertian-pengertian, kategori-kategori sebenarnya
bukan hukum-hukum pemikiran belaka namum merupakan kenyataan-kenyataan
(realitas). Pengertian-pengertian, kategori-kategori bukan sekedar menyusun
pemikiran kita, namun semua itu adalah kerangka dunia; artinya, semua itu
mengambarkan hakekat dunia dalam pikiran. Jadi, dalam pandangan Hegel Universe
bukan merupakan ekspresi “kemauan Buta” sebagaiman yang telah dipikirkan oleh
Schoppenhauer. Universe diatur oleh suatu hukum tertentu yang dipahami secara
dialetika. Alam pikiran dalam filsafat Hegel bukan hanya berfungsi secara
Epistemologi semata, namun ia mengatur seluroh aspek kehidupan dan kunci untuk
memehami realitas.
Karena pentingnya peranan akal, logika menduduki tempat
penting dalam Filsafat Hegel. Logika didefenisikan sebagai ilmu tentang ide
murni (pure Idea) atau sebagai ilmu
tentang pemikiran yang meliputi hukum-hukum dan karekteristik bentuk-bentuknya.
Kebenaran logika berkaitan dengan masalah dasr yang ada (being) sebab persoalan yang dianggap sebagai permulaan dan akir
filsafat. Jadi, logika Hegel pendeknya dapat disebut sebagai ontologi. Logika
ini sangat berlainan dengan pengertian logika tradisional yang basis dasarnya
adalah “hukum kontrakdiksi” (law of
contradiction) : A adalah non A. Karena Hegel menerima prinsip idealistis
bahwa realitas selurohnya harus di setarafkan dengan suatu subjek. Suatu dalil
Hegel yang terkenal berbunyi: “semua yang nyata bersifat rasional, dan semua
yang rasional bersifat nyatal”. Sehingga yang khas dalam logika Hegel
adalah didasarkan atas keyakinan adanya suatu sintetis yang dicapai melalui
proses dialetika : tesis, antitesis, dan sintetis.[9]
2.2.2 Metode Dialektika Hegel
Hegel mengatakan bahwa proses historis bersifat dialektis. Sebelum membahas
metode dialetika Hegel, sehendaknya kita ketahui terlebih dahulu apa yang
dimaksud dealetika. Istilah dialetika berasal dari bahasa Yunani, dialego, yang
berarti debat atau diskusi.[10]
Jadi, dialektika adalah pengalaman sehari-hari dalam dialog. Hegel sangat
mengagumi ucapan filsuf Yunani Herakleitos bahwa “pertentangan adalah bapak
segala sesuatu”.[11]
Dengan metode dialetika ini, Hegel mensintesiskan antara filsafat idealisme
subyektif (Fichte) dengan filsafat idealisme obyektif (Schelling) menjadi
filsafat idealisme mutlak.[12]
Proses dialetika selalu terdiri atas tiga fase. Fase pertama
(tesis) yang lawannya (antitesis), yaitu fase kedua. Lalu muncullah fase ketiga
yang memperdamaikan fase pertama dan kedua atau disebut dengan (sintesis).
Namun, dengan munculnya sintesis, bukan berarti tesis dan antitesis di tiadakan
atau dihilangkan. Hegel juga mengatakan, dalam sintesis masih terdapat tesis
dan antitesis, tetapi kedua-duanya diangkat kepada tingkatan baru. Dengan kata
lain, dalam sintesis baik tesis maupun antitesis mendapaat eksistensi baru.
Atau bisa disebut, kebenaran yang terkandung dalam tesis dan antitesis tetap
disimpan dalam sintesis, tetapi dalam bentuk lebih sempurna. Maka dari itu
proses dealetika sebaiknya dikiaskan dengan gerak spiral dan bukan dengan gerak
garis lurus.[13]
Sekarang marilah kita melihat contoh dialetika Hegel dalam
menghadapi kehidupan saat ini. Contoh pertama, golongan yang satu menginginkan
supaya negara menguasai agama. Pandangan ini mengandung di dalamnya hal yang positif
baik, yaitu bahwa ada kesatuan diantara kekuatan dan kekuasaan politik,
sehingga tata tertib nasional terjamin. Segi negatifnya adalah, bahwa kebebasan
agama ditiadakan. Agama harus tunduk kepada pemerintah. Pandangan yang demikian
itu membangkitkan reaksi, golongan lain yang menginginkan supaya agama
menguasai negara. Segi positif dari golongan ini ialah, kebebasan agama
terjamin, artinya: agama dapat mengatur diri sesuai hakikat dan sifat-sifatnya.
Akan tetapi segi negatifnya ialah dengan adanya kebebasan agama berkemungkinan
agama itu hanya berlaku bagi satu agama saja. Jikalau golongan yang pertama
tadi tesisnya, maka golongan yang kedua ialah antitesisnya. Sintesis bagi kedua
pendapat itu ialah pandangan yang menginginkan perpisahan diantara agama dan
negara. Keduanya, baik agama maupun negara, harus beri tugasnya sendiri-sendiri
di bidang masing-masing. Segi yang positif, yang baik dari pandangan ini ialah,
bahwa tata tertib nasional terjamin, sedang kebebasan agamaa terjamin bagi
semua agama. Baik kekuasaan dan kekuatan politik berada di tangan yang sama.
Sekalipun demikian hak agama dihormati, sedang kepentingan agama tidak
dicampuradukan dengan kepentingan politik.[14]
Contoh kedua adalah keluarga terdiri dari suami, isteri dan
anak. Bagi suami sang isteri adalah yang lain dan bagi isteri sang suami adalah
yang lain. Suami dan isteri merupakan dua kutub yang bertentangan (tesis dan antitesis). Nah, lalu muncullah
sang anak, dan anak inilah sintesisnya yang yang memperdamaikan suami dan
isteri (tesis dan sintesis) tadi. Dan
pertentangan antara suami dan isteri sudah menjadi aufgehoben dalam si
anak.[15]
Terlepas
dari contoh diatas, buku The phenomenology of Spirit adalah usaha Hegel untuk menyelidiki
sejarah dengan proses dialektikal pemikiran. Marx, murid Hegel yang mempelajari
Hegel secara sungguh – sungguh, menyebut buku itu sebagai “tempat kelahiran
yang sejati dan rahasia atas filsafat Hegel.” Bagi Hegel, fenomenologi adalah
studi tentang penampakan, fenomena, cara berada objek – objek terhadap kita
sejauh yang kita tangkap adalah ilmu yang benar. Fenomenologi ini dilawankan
dengan metafisik. Roh adalah dunia Hegel bagi Akal Kosmik yang mengenal dirinya
sendiri dalam alur proses historis dan dialektikal yang terjadi. Demikian judul
dari buku ini menyiratkan suatu usaha Hegel dalam memeriksa dinamika kerja Roh
yang tampak pada umat manusia. Buku ini seturut keterangan Hegel tidak lain
adalah kebenaran sejarah manusia dalam segala maknanya dan yang kepadanya kita
semua diarahkan.[16]
Dalam pengantar buku tersebut, Hegel mengurai bagaimana Yang Absolut menyadari
dirinya sendiri. Atau dengan kata lain Yang Absolut mengenal dirinya sendiri.
Ada momen – momen dialektikal yang lebih kecil, sebut saja sub dialektika yang
bekerja dalam wilayah sejarah sebagaimana tren sejarah besar yang memiliki tiga
bagian. Bagian pertama, kesadaran disadari sebagai dunia indrawi, kemudian
kesadaran sadar akan dirinya sendiri. Kedua, Hegel mengungkapkan bahwa dalam
kesadaran diri, kesadaran itu menolak atau menguasai kehidupan dan sedemikian
hingga menjadi subjek yang mengalami objek – objek. Ketiga, perbedaan yang
salah ditolak dan Roh akhirnya mengenal dirinya dan katakanlah, kesadaran
mengenal bahwa kesadaran dan dunia indrawi adalah satu. Jika ini betul dianggap
masuk akal, mungkin akan dapat membantu dengan membaca lebih cermat beberapa
proses yang diuraikan dalam buku tersebut. The Phenomenology dibagi
dalam beberapa bagian yang masing – masing menelaah suatu tahapan atau aspek
dari proses historis.
Mengkaji bagian A Consciousness yang terdapat dalam tulisan Hegel
tersebut. Hegel mengemukakan kemungkinan adanya tiga relasi epistemologis
antara kesadaran dan objek yang menampakkan diri padanya dan di setiap
permasalahan ia mencoba menunjukkan bahwa setiap relasi selalu mengarah pada
relasi selanjutnya. Yang pertama dan terutama adalah rasa kepastian, yang mana
kesadaran menjumpai objek yang dirasakan namun tidak benar – benar dapat
memahami maknanya: pokok permasalahannya adalah “di depan mata”. Kedua,
persepsi mencakup juga kesadaran yang membedakan kepemilikan suatu benda tanpa
harus mengerti sifat dasar yang pokok dari benda itu sendiri. Ketiga, pemahaman
merupakan suatu usaha subjek yang mengenal objek untuk menerima sifat dasar yang
pokok dari objek tersebut. Pemahaman tidak lain adalah suatu usaha untuk
mencapai makna di balik sifat – sifat penampakkan objek.
Hegel menyadari bahwa setiap jenis relasi dalam sejarah umat manusia menjadi
usaha untuk mengenali dunia alamiah. Kita mulai dengan mengakarkan pengetahuan
dalam sensasi, yang pada akhirnya gagal, karena pada saat kita menempatkan
sensasi sebagai objek pengetahuan, perantara objek itu seketika hilang. Objek –
objek itu akan menjadi sesuatu yang lain. Usaha kita untuk mengetahui suatu hal
berdasarkan persepsi hanya sampai pada tataran di mana kita mengetahui ikatan
sifat – sifatnya yang tidak lain adalah suatu substansi misterius yang
mendasarinya. Upaya untuk mengatakan sumber macam apa dari sifat – sifat ini,
atau kita sebut sebagai pemahaman ilmiah akan objek – objek, meninggalkan
daftar ketidaktahuan yang panjang akan adanya kekuatan yang lain. Kita
mengakhiri dengan pandangan bahwa usaha memahami dunia dengan menekankan
sensasi membuat kita kehilangan akses terhadap realitas. Apa yang kita perlukan
adalah pertimbangan yang tidak sekedar berupa kesadaran akan sesuatu namun juga
mencakup kesadaran diri.
Pada bagian B, Self-Consciousness, Hegel menyadari konsepsi mengenai
diri kita sebagai aktor – aktor. Bagian ini kemungkinan memuat contoh yang
paling terkenal yang menyempurnakan sifat pokok dari pemikiran dialektis, yang
oleh Hegel disebut “kemerdekaan dan ketergantungan dari kesadaran diri;
kekuasaan dan perbudakan”. Kita dapat memikirkan binatang yang berakal atau
suatu mesin yang memiliki hasrat nafsu namun mereka tidak memiliki kesadaran
diri. Manusia memiliki lebih dari sekedar nafsu. Kita memiliki hasrat dan
diantara hasrat – hasrat tersebut adalah hasrat untuk dikenali sebagai pribadi
yang merdeka oleh yang lain. Menilik sejarah, kita melihat para tuan tanah yang
menghancurkan rival – rivalnya sebagai perwujudan untuk dikenal sebagai pihak
yang kuat, individu yang bebas. Beberapa rival menjadi objek dan budak tidak
hanya bagi kepentingan si tuan namun juga bagi hasrat si tuan agar mereka
dilihat sebagai pihak yang kuat. Bagaimanapun, dalam fungsinya sebagai hamba,
budak memperoleh nilai dan menyadari fakta bahwa dirinya diperlukan oleh
tuannya. Hal ini menimbulkan semacam perbudakan, ketergantungan budak terhadap
tuannya. Disini, tesis ini mengarah pada kemerdekaan dan antitesisnya adalah
ketergantungan tuan pada budaknya.
Sintesis dari perlawanan diatas ditemukan dalam usaha budak demi kesadaran diri
yang bebas. Manakala Roh gagal menemukan kebebasan melalui interaksi dua
kesadaran diri, Roh itu kembali ke dirinya sendiri dengan cara yang baru.
Kesadaran mengupayakan kebebasan dirinya sendiri dengan melepaskan rasa
kebutuhan diri akan orang lain. Hegel menyebutkan berbagai usaha yang selanjutnya
juga ditempuh para pemikir abad Romantik, khususnya kebangkitan Stoa dan
ketidakacuhan pada penampakan eksistensi sebagai gejala pergantian sejarah dari
ketergantungan pada yang lain ke suatu model baru kepercayaan diri. Akhirnya
umat manusia modern ini mencari akal budi, roh dan agama (keyakinan) untuk
mencapai sintesis antara kesadaran dan kesadaran diri.
Rasionalitas abad pencerahan, sebagaimana juga kebangkitan ilmu, oleh Hegel
ditandai sebagai suatu usaha menggapai kepercayaan diri atau kebebasan melalui
metode rasional. Usaha – usaha ini menarik umat manusia terlampau jauh dari
perjalanan objektivitas yang dingin dan tidak memuaskan, dan mengikuti suatu
jenis kebangkitan spiritualitas dalam bentuk romantisme dimana kesadaran mencari
resolusi. Pemikiran romantik sendiri bergeser dalam pemikiran moral yang baru,
khususnya dalam pandangan bahwa kebenaran yang ada dalam individu dirasakan
juga oleh orang lain dan demikian yang lain juga memiliki klaim yang sama.
Dalam agamalah kemanusiaan mendekati sintesis akhir. Hegel menyadari bahwa
keselurohan pemikiran religius, menyangkut perwujudan iman, terutama dalam
agama kristiani, dapat menggapai pengetahuan absolut. Roh melihat dirinya
sebagaimana adanya. Kristus adalah tubuh yang diciptakan Allah, dalam pandangan
tri tunggal, dan ini sebagaimana kemiripannya dengan fenomenologi, dapat
mencapai kebenaran, yakni bahwa kemanusiaan tidaklah berbeda dari realitas
ultim. Kemanusiaan tiada lain adalah benar – benar bagian darinya.[17]
Demikian, sumbangan Hegel bagi kita adalah pemaparannya yang eksplisit mengenai
dialektika ide dalam sejarah manusia. Teori dialektika ini menggeser teori –
teori tentang kebangkitan dan kejatuhan agama (keyakinan), relasi sosial dan
politik, moralitas dan teori ilmiah yang ada pada waktu itu. Hegel memandang
tidak satupun dari teori – teori tersebut yang dapat disebut mutlak benar
ataupun salah. Namun kita tidak dapat serta merta menyebut Hegel sebagai orang
yang relativistis. Menurutnya, ada kebenaran dan kekeliruan dalam setiap momen
sejarah dan setiap kisah sejarah senantiasa mengarah pada tahap final yang oleh
Hegel disebut dengan Pengetahuan Absolut. Pengetahuan ini dipikirkan Hegel
semacam kedamaian universal dan utopia kebebasan yang kabur dan tidak pasti.
Kiranya akan menjadi seperti apa jika semua orang pada akhirnya menyadari bahwa
kita semua benar – benar bagian dari suatu rasionalitas ultima. Sebelum
tercapainya keadaan tersebut, jalan ke arah tujuan tersebut akan lebih tidak
menyenangkan. Ada catatan penting untuk kita ingat. Hegel hidup di era
Napoleon, zaman yang penuh dengan peperangan yang menyakitkan. Dalam zaman
semacam itu, Hegel mengistilahkan jalan ke arah utopia sebagai the slaughter
bench of history.
2.3 Studi Kritis dari Pemikiran Filsafat Sejarah Hegel
Menurut Hegel sejarah adalah perkembangan roh dalam waktu
sedangkan alam adalah perkembangan ide dalm ruang. Sistem menyeluroh Hegel
dibangun diatas tiga unsur utama (the great triad): ide-alam-roh.[18]
Hubungan
tersebut dapat dilihat dengan tabel sebagai berikut [19]:
Tesis
|
Antitesis
|
sintesis
|
|
Ide
|
Alam
|
Roh
|
|
Struktur
|
Dialektika
(dinamika logis)
|
Ruang-waktu
|
Waktu
|
Ilmu
|
Logika
|
Geometri
|
Sejarah
|
Pada bagian utama Philosophy
of History, Hegel berusaha melacak perkembangan kebebasan dalam sejarah. Dia
memulainya dari sebuah ulasan tentang dunia oriental yang meliputi peradaban
Cina, India, dan Persia. Terdapat dalam Wahyu Iryana (2014:154) dikatakan bahwa
Cina dan India digambarkan sebagai peradaban-peradaban stasioner (mandek) yang
berada di luar Sejarah dunia. Sebab, Cina dan India telah berhenti berkembang.
Sejarah dunia, sesungguhnya bermula hanya dari kerajaan Persia. Dalam
masyarakat oriental, hukum dan moralitas menjadi urusan regulasi eksternal.[20]
Menurut Hegel, tidak ada gejala sama sekali pada diri individu oriental yang
berkembang dalam tiga kebudayaan tersebut, yang dapat membentuk moral mereka
secara berbeda. Mereka semua menghasilkan bentuk moral yang sama.[21]
Untuk pembagian Filsafat Sejarah Hegel sendiri, F.R
Ankersmit (1987) disadur dari buku Historiografi Barat karya Wahyu Iryana,
membagikan Filsafat Sejarah Hegel kepada dua jalur: Filsafat Sejarah Formal dan
Material.
1. Filsafat Sejarah Formal
Dalam sejarah formal Hegel mengembangkan struktur abstrak
yang mendasari teorinya mengenai proses sejarah selurohnya. Dalam Filsafat
Sejarah Formal ini, Hegel membagi Sejarah kedalam tiga Penulisan[22]:
1.
Penulisan
Sejarah Asli.
2.
Penulisan
Sejarah Reflektif.
3.
Penulisan
Sejarah Filosofis.
Penulisan Sejarah Asli menjelaskan tindakan, peristiwa dan
kondisi yang sebelumnya mereka saksikan dan roh dibalik peristiwa yang mereka
alami. Dalam mengamati peristiwa sejarah seorang sejarawan sejati tentu
sajamerujuk pada pernyataan atau laporan orang lain karena tidak mungkin mereka
melihat suatu peristiwa.[23]
Penulisan Sejarah Reflektif
ini adalah bentuk sejarah yang mentrensendentalkan sebuah kehadiran bukan dalam
waktu tetapi dalam roh. Adapun jenisnya pertama adalah sejarah universal
yaitu penyelidikan atas keselurohan sejarah sebuah masyarakat negara atau
dunia. Dalam sejarah universal hal utamanya adalh elaborasi atas materi
historis.[24]
Jenis kedua sejarah reflektif adalah sejarah pragmatis. Dalam menghadapi masa
lalu dan menyibukkan diri kita dengan dunia asing Akan terbukalah dalam pintu
pikiran sebuah aktualitas yang muncul dari dirinya sendiri sebagai hasil kerja
pikiran.
Jenis ketiga dalam sejarah reflektif adalah
sejarah kritis. Ciri yang menonjol dari metode ini khususnya yang berkaitan
dengan masalah fakta dan tujuan terdapat dalam ketajaman si pengarang yang
merebut hasil dari narasi-narasi ketimbang dari peristiwa-peristiwa.
Jenis yang keempat sejarah reflektif adalah
sejarah yang menghadirkan dirinya secara terbuka sebagai sejarah
pragmatisme. Mode sejarah ini sifatnya abstrak tetapi dalam mengadopsi
sudut pandang yang universal contohnya dalam hal sejarah seni, sejarah hukum
dan sejarah agama ia membentuk sebuah transisi ke arah dunia filosofis.
Metode ketiga sejarah adalah Sejarah Filosofis,
difinisi filosofis secara umum menunjukkan bahwa filsafat sejarah bukanlah
apa-apa selain kontenplasi mendalam tentang sejarah.[25]
2. Filsafat Sejarah Material
Dalam pembahasan mengenai Filsafat Sejarah Material ini,
lebih luas ulasannya daripada filsafat sejarah formal diatas, dalam kajian ini
Hegel lebih mengacu pada kajian tentang roh. Hakekat roh dapat dimengerti
dengan melihat lawannya yang langsung materi. Karena hakikat materi
adalah Gaya berat maka dipihak lain kita dapat menyatakan bahwa substansi
hakekat roh adalah kebebasan.[26]
Filsafat Hegel disusun dalam tiga tahap sesuai dengan
perkembangan roh :
1. Tahap ketika roh berada dalam
keadaan ada dalam dirinya sendiri. Ilmu filsafat yang membicarakan roh berada
dalam keadaan ini disebut logika.
2. Dalam tahap kedua roh berada dalam
keadaan ‘berbeda dengan dirinya sendiri yang menjadikan dirinya di luar
’dirinya dalam bentuk alam yang terikat oleh ruang dan waktu.ilmu filsafat yang
mempelajari ini disebut filsafat Alam.
3. Tahap ketiga yaitu tahap ketika roh
kembali kepada dirinya sendiri. Yakni kembali dan berada di luar dirinya.
Sehingga roh berada dalam keadaan ‘dalam dirinya dan bagi dirinya sendiri’.
Tahap inilah yang menjadi sasaran filsafat roh.[27]
Mengenai pembahasan Filsafat sejarah
material ini pula, Hegel membagi acuan penulisannya pada tiga mantra andalannya
yakni: Roh Objektif, Roh Subjektif, dan Roh Mutlak.[28]
Filsafat roh yang tiga tersebut
diletakkan dalam tiga struktur sejarah, yakni sejarah Timur, Yunani-Romawi, dan
Jerman-mewakili seluroh sejarah Barat sejak runtuhnya kekaisaran Roma. Mengenai
Roh ini dibagi menjadi 3 tingkatan yakni dimulai dari roh subyektif sebagai tindakan
terendah, memanjat ke roh obyektif untuk akhirna tiba di roh mutlak. Apa yang
dalam pengetahuan absolut menjadi kesadaran filsuf merupakan gerak objektif
dalam realitas. Dengan kata lain, Hegel memahami sejarah sebagai gerak ke arah
rasionalitas dan kebebasan yang semakin besar. Roh semesta berada di belakang
sejarah, ia mendapat objektifitas di dalamnya. Hegel bicara tentang Roh
Objektif : Roh sebagaimana yang ia
mengungkapkan diri dalam kebudayaan-kebudayaan, dalam moralitas-moralitas
bangsa-bangsa, dalam institusi-institusi.[29]
Roh sendiri terbagi menjadi tiga
bagian yaitu: kesenian, agama dan filsafat. Di dalam kesenian tampaklah roh
yang tlah didamaikan dengan dirinya sendiri. Tampaklah subyek dan obyek dalam
dirikeselarasan yang sempurna sehingga tampaklah idea mutlak dalam kejelasan
yang sempurna. Diatas kesenian terdapat agama, jikalau kesenian menampakkan
keselarasan dalam bentuknya yang lahiriyah maka agama menampakkan keselarasan
yang secara batiniyah.akhirnya bentuk yang tertinggi dimana roh mutlak berada
dalam dirinya adalah filsafat. Hal ini disebabkan karena di dalam agamayang
mutlak masih terikat kepada perasaan dan gagasan dan belum mewujudkan bentuk
pengertian pikiran yang murni.[30]
Menurut Hegel roh objektif mendapat ungkapan paling kuat
dalam negara. Karena negara mempunyai kehendak, ia dapat bertindak. Dengan
demikian negara mengungkapkan Roh semesta ; ia merupakan “perjalanan Allah
dalam dunia”.Dalam filsafat sejarah, Hegel menunjukan bagaimana manusia semakin
menyadari kebebasannya dan semakin mengorganisasikan diri dengan menjunjung
tinggi kebebasannya. Kebebasan prinsiipil manusia menurut Hegel berkembang
menjadi nyata dalam dialektika tiga langkah : dalam gereja Katholik kebebasan
itu baru dalam pewartaan, sedangkan dalam kenyataan yang bebas hanyalah klerus
(para hierarki), yang kemudian “disangkal” oleh Protestantisme terbatas pada
hak pembacaan Kitab Suci, kemudian oleh Aufklarung diakui sebagai kebebasan
untuk menganut agama yang diyakininya, dan akhirnya oleh Kant dijadikan prinsip
universal hak dan kewajiban setiap orang untuk mengikuti suara hati. Akhirnya
dalam revolusi Prancis sebagai langkah dialektis baru, kebebasan tercetus dari
batin orang (terbatas pada hak untuk, secara pribadi, mengikuti suara hati)
menjadi struktur hukum dan negara dengan memproklamasikan republik dan mengakui
hak-hak asasi manusia.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Hegel memiliki nama lengkap George
Wilhelm Friedrich Hegel. Ia lahir tanggal 27 Agustus 1770 di Stuttgart, dan
meninggal pada tanggal 12 Nopember 1831. Merupakan seorang filsuf kenamaan
barat abad ke-19. Hegel dikenal sebagai filsuf yang menggunakan dialektika
sebagai metode berfilsafat. Dialektika menurut Hegel adalah dua hal yang
dipertentangkan lalu didamaikan, atau biasa dikenal dengan tesis (pengiyaan),
antitesis (pengingkaran) dan sintesis (kesatuan kontradiksi). Pengiyaan harus
berupa konsep pengertian yang empris indrawi.
Pengertian yang terkandung di dalamnya berasal dari kata-kata
sehari-hari, spontan, bukan reflektif, sehingga terkesan abstrak, umum, statis,
dan konseptual.
Ada dua hal yang membuat Hegel berbeda dengan filsuf-filsuf
lain, yakni penekannya terhadap logika dan gerakan tritunggal yang bisa disebut
“metode dialetika”. Realitas dari Hegel adalah Roh dan Alam semesta dalam
beberapa hal adalah produk dan pikiran sehingga hal itu dapat dimengerti oleh
pikiran. Dengan demikian, filsafat Hegel lebih tepat dikarekteristikan dengan
julukan “Rasionalis”. Hegel mengatakan bahwa proses historis bersifat
dialektis. Istilah dialetika berasal dari bahasa Yunani, dialego, yang berarti
debat atau diskusi. Jadi, dialektika
adalah pengalaman sehari-hari dalam dialog. Hegel sangat mengagumi ucapan
filsuf Yunani Herakleitos bahwa “pertentangan adalah bapak segala
sesuatu”. Dengan metode dialetika ini,
Hegel mensintesiskan antara filsafat idealisme subyektif (Fichte) dengan
filsafat idealisme obyektif (Schelling) menjadi filsafat idealisme mutlak.
Pemikiran Filsafat Sejarah Hegel
dibagi kedalam dua Jalur penulisan yakni: Filsafat Sejarah Formal dan Material.
Filsafat Sejarah Formal terdiri dari:
1.
Penulisan
Sejarah Asli.
2.
Penulisan
Sejarah Reflektif.
3.
Penulisan
Sejarah Filosofis.
Sedangkan, untuk Filsafat Sejarah Material lebih luas
ulasannya daripada filsafat sejarah formal diatas, dalam kajian ini Hegel lebih
mengacu pada kajian tentang roh. Yang mana dalam pembahasan ini, Hegel membagi
acuan penulisannya pada tiga mantra andalannya yakni: Roh Objektif, Roh
Subjektif, dan Roh Mutlak.
DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijoyo, Harun.1980. Sari
Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisus.
Hegel, G.W.F.
2002. Filsafat Sejarah. Diterjemahkan oleh Cut Ananta Wijaya. Yogyakarta:
pustaka pelajar.
Iryana,
Wahyu. 2014. Historiografi Barat.
Bandung: Humaniora.
Zubaedi.2007.
Filsafat Barat (Dari Logika Baru Rene Descrates Hingga Revolusi Sains ala
Thomas Khun). Yogyakarta: Ar Ruzzmedia.
SUMBER INTERNET
http://wikipedia.co.id/biografi-gwf-hegel/. Diakses pada hari Rabu tanggal
05/10/2016.
http://wikipedia.co.id/pengertian-dialektika/. Diakses pada hari Rabu tanggal
05/10/2016.
[1]
http://wikipedia.co.id/biografi-gwf-hegel/
[2] G.W.F.Hegel.2002.Filsafat
Sejarah.diterjemahkan oleh cut ananta wijaya.yogyakarta: pustaka pelajar. Hal.437
[3] http://wikipedia.co.id/biografi-gwf-hegel/
[4]
http://wikipedia.co.id/karya-karya-hegel/
[5]
Wahyu Iryana. Historiografi Barat. 2014. Humaniora. Bandung. Hal.151
[6] Zubaedi.2007.
Filsafat Barat (Dari Logika Baru Rene Descrates Hingga Revolusi Sains ala
Thomas Khun). Yogyakarta : ar Ruzzmedia. Hal.86
[7]
Zubaedi, opcit. Hal.86
[8]
Ibid, hal 88
[9] Zubaedi,
opcit. Hal. 89
[10] http://wikipedia.co.id/pengertian-dialektika/
[11]
Ibid. hal.89
[12]
Ibid. hal. 40
[13]
Zubaedi, opcit. Hal. 90
[14] Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Penerbit Kanius, 2005),
hal. 100.
[15] Harun,
Ibid. hal.101
[16]
Zubaedi, opcit. Hal. 94
[17] G.W.F.Hegel.2002.Filsafat
Sejarah.diterjemahkan oleh cut ananta wijaya.yogyakarta: pustaka pelajar.
Hal.105
[18] G.W.F.Hegel.Ibid.
hal. 107
[19] G.W.F.Hegel,
Opcit. Hal.108
[20]
Wahyu Iryana. Historiografi Barat. 2014. Humaniora. Bandung. Hal. 154
[21]
G.W.F Hegel.2002.Filsafat Sejarah.diterjemahkan oleh cut ananta wijaya.yogyakarta:
pustaka pelajar. Hal.160
[22]
Wahyu Iryana, Ibid. Hal. 154
[23] G.W.F.
Hegel, opcit, 5
[24] Ibid,
Hal.6
[25] Ibid,
Hal. 11
[26]
Ibid, hal. 23
[27]
Zubaedi, opcit, . Hal. 12-13
[28]
Wahyu Iryana, opcit, Hal. 155
[29]
G.W.F. hegel, opcit, Hal. 24
[30]
Harun Hadiwijoyo, opci, Hal. 104
Komentar
Posting Komentar