MATA PENCAHARIAN MASYARAKAT SUNDA (MAKALAH SASTRA DAN BUDAYA SUNDA)


BAB II
PEMBAHASAN
21. Folklor Mata Pencaharian Masyarakat Sunda.
Mata pencaharian masyarakat sunda sebagai mana disebutkan dalam carita Parahyangan terdiri dari pahuma, panggerek, panyadap, dan padagang. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, maka mata pencaharian masyarakat sunda semakin beragam.
Dahulu masyarakat Sunda memiliki mata pencaharian yaitu ngahuma atau berladang, namun kini tradisi berladang tetap di lestarikan oleh masyarakat Baduy dalam (jero) yang berada di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, di Provinsi Banten wilayah selatan.
Mata pencaharian utama masyarakat Sunda Baduy adalah berladang. Sedangkan mata pencaharian lainnya, seperti berburu binatang, membuat kerajinan tangan dan berdagang adalah merupakan perkerjaan sampingan saja di waktu-waktu luang, sewaktu mereka tidak sibuk kerja di ladang. Kerajinan tangan yang cukup terkenal dari daerah Sunda adalah rajutan “kantong koja” atau “jarog” yang dibuat dari serat kayu atau benang. Sedangkan kaum wanitanya biasanya menenun kain tradisional.
            Semua orang Baduy hidup dari hasil bertani. Pertanian yang digarapnya ialah sistim huma (berladang). Menggarap tanah dengan sistim sawah merupakan tabu bagi mereka. Di samping berladang dengan menanam padi, sumber kehidupan mereka diperoleh pula dari usaha menyadap enau untuk dijadikan gula merah, mencari madu di hutan, berburu di hutan, menangkap ikan di sungai, dan mengupayakan tanaman keras untuk dipetik buahnya. Sebagian dari mereka menjadi pandai besi untuk membuat alat perlengkapan dari besi seperti golok, kujang, kored, dan beliung. Kaum wanitanya sebagian berusaha menenun kain di rumah dengan alat tenun tradisional untuk memenuhi kebutuhan sandang sendiri. Hasil tenunannya antara lain berupa kain, selendang, bahan kebaya, bahan baju pria. Sudah tentu di antara dari mereka ada yang memiliki keahlian dalam hal membangun rumah (pertukangan).
            Pada umumnya hasil pertanian diperuntukkan bagi memenuhu kebutuhan hidup mereka sendiri. Walaupun begitu, gula merah, buah-buahan, golok, dan madu biasanya diperdagangkan di luar. Sedangkan mereka membeli barang-barang kebutuhan yang belum terpenuhi oleh usaha mereka sendiri, seperti kain, ikan asin, garam, dan cermin
            Dalam masyarakat Baduy tanah bukanlah berstatus hak milik secara pribadi. Tanah, termasuk hutan di sekitarnya, dianggap oleh mereka sebagai barang titipan kepada mereka dari Yang Mahakuasa. Mereka bertugas untuk memeliharannya dan menjaga kelestariannya serta memanfaatkan sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
            Sehubungan dengan hal itu, lahan huma yang digarap oleh mereka, bukanlah lahan milik pribadi, melainkan lahan garapan pribadi. Jadi, hanya hasil garapannya menjadi milik pribadi, tetapi tanahnya tidak boleh menjadi milik pribadi. Walaupun begitu, karena tanaman keras yang ditanam di lahan huma tertentu oleh seorang penggarap boleh diakui sebagai milik penggarap tersebut, maka terdapat kecenderungan orang Baduy menggarap huma yang tetap pada tiap perputaran lahan garapan masing-masing.
               Berhubung dengan pertanian huma merupakan satu-satunya sumber usaha kehidupan orang Baduy, maka siklus dan pola penggarapan huma sangat mempengaruhi pola hidup mereka. Patut ditekankan bahwa penggarapan huma mereka mempunyai ciri mandiri yang berbeda dengan penggarapan ladang kelompok lain. Kemandiriannya itu teletak pada kecenderungan pemeliharaan lingkungan alam sekitarnya, bukan perusak lingkungan alam.
            Pertama-tama, patut dikemukakan bahwa orang Baduy memiliki sistim kalender yang sesuai dengan pola pertanian mereka dan memang dipatuhi benar. Perhitungan kalender mereka berdasarkan pada sistim peredaran bulan, seperti halnya kalender islam. Bulan pertama kalender orang Baduy bersamaan dengan awal kegiatan di huma, yaitu pada mangsa Kapat menurau kalender Jawa. Bulan-bulan berikutnya sama dengan urutan kalender Jawa selanjutnya, yaitu bulan ke-2 = mangsa Kalima, ke-3 = mangsa kanem, ke-4 = mangsa Kapitu, ke-5 = mangsa Kawolu, ke-6 = mangsa Kasanga, ke-7 = mangsa Kadasa, ke-8 = Hapit Kayu, ke-9 = Hapit Lemah, ke-10 = mangsa Kasa, ke-11 = mangsa Karo, dan ke-12 = mangsa Katiga. Sesungguhnya jumlah bulan pada kalender orang Baduy adalah 10 bulan yang lama tiap bulan masing-masing 30 hari. Tetapi untuk menyesuaian dengan masa kemunculan rasi bintang pada posisi tertentu yaitu 359 hari, maka di


sispkanlah dua bulan, yaitu pada bulan ke-8 dan ke-9 dengan diberi nama Hapit Kayu dan Hapit Lemah (Saleh Danasasmita & Anis Djatisunda, 1986: 37-38).
Jenis Huma
            Bedasarkan fungsi, letak lokasi, dan tingkatan adatnya, di Baduy dikenal lima jenis huma dimaksud adalah:
1.      huma serang
2.      huma puun
3.      huma tangtu
4.      huma tuladan
5.      huma panampingí
Huma serang ialah lahan utama yang lokasinya di daerah Tangtu dan padi hasil garapannya khusus di peruntukkan upacara-upacara kapuunan. Huma puun ialah lahan huma yang lokasinya di daerah Tangtu, di peruntukkan garapan puun, dan merupakan jaminan hidup puun berserta keluarga selama menduduki jabatan tersebut. Huma tangtu ialah huma di daerah Tangtu yang diperuntukkan garapan penduduk Tangtu (Baduy Dalam). Huma tuladan ialah lahan huma yang terletak di daerah Panamping dan padi hasi garapannya diperuntukkan keperluan upacara di daerah Panamping. Huma panamping ialah lahan huma yang lokasinya di daerah Panamping dan di peruntukkan garapan penduduk daerah Panamping.
2.2 Folklor  Pertanian Masyarakat Sunda.
Pada masyarakat Sunda dikenal dua sistem pertanian bercocok tanam padi, yaitu sistem perladangan berpindah (huma) dan sistem sawah. Mata pencaharian masyarakat sunda yang dominan ditekuni adalah bertani. Bertani yang merupakan kegiataan menanam padi, memiliki symbol tidak hanya sekedar pertanian bagi masyarakat sunda akan tetapi juga memiliki nilai simbol kepercayaan.
Padi atau dalam bahasa sunda disebut dengan pare, ada yang berpendapat bahwa pare berasal dari kata pwah are yang artinya intinya perempuan, untuk itu menanam padi sarat dengan kepercayaan mitos Dewi Sri. Menanam padi pada masyarakat sunda terbagi menjadi dua macam yaitu pahuma dan panyawah.
Pahuma adalah orang yang berladang atau menanam padi di darat atau biasa disebut huma. Ngahuma adalah membuat huma. Jenis padi huma terdapat 150 jenis, yang masing-masing jenis padi huma memiliki nama, seperti badigal, baduyut, bagoan, bangban, beureum barudin, beureum kapundung, beureum lopang, bubuay, cere kalapa, care pingpin kasir, gandreng atau kolelet, ketan jalupang, ketan loyor, ketan ruyung, ketan salompet, sisit naga dan lain-lain.
Sebagai orang nomad, orang sunda masa lalu menanam padi di ladang secara berpindah-pindah (ngahuma) dilahan hutan daerah pegunungan. Didalam memulai membuka hutan untuk ngahuma, para peladang biasanya menggunakan petunjuk indikator alam, seperti perputaran rasi bintang.
Urutan bertani dengan cara huma diantaranya;
1). Narawas, narawas merupakan kegiatan pada dasarnya merupakan kegiatan memberi tanda pada area yang akan ditanami padi huma dengan cara memotong atau memangkas ranting pohon menggunakan bedog atau parang.
2). Nyacar. Selanjutnya nyacar, yaitu membersihkan lahan yang akan ditanami padi dari gulma atau rumput. Dalam tradisi masyarakat Baduy Dalam, kegiatan nyacar biasanya dilakukan pada bulan Sapar, pada tanggal 18 di Cikeusik dan Cikartawarna, serta tanggal 19 di Cibeo. Pekerjaan nyacar dikerjakan oleh ratusan orang terdiri dari penduduk Baduy Dalam dan Baduy luar yang ingin ikut serta.
3). Nyukuh. Merupakan kegiatan mengumpulkan ranting pohon dan rereumputan lantas dikumpulkan dibeberapa tempat untuk dikeringkan.
4). Duruk. Setelah semua ranting yang dikumpulkan dirasa sudah kering, maka selanjutnya dibakar.
5).  Ngaseuk adalah membuat lubang kecil ditanah untuk ditanami.
6). Muuhan, setelah tahapan ngaseuk selanjutnya lubang kecil tadi langsung diisi dengan benih padi, yang melakukan kegiaan muuhan ini adalah perempuan.
7). Ngored. Adalah proses membersihkan padi dari rumput-tumput liar.
8).Tunggu. merupakan kegiatan menunggu padi dari hama, terutama burung pemakan padi
9). Dibuat. Dibuat adalah proses memanen padi. Biasanya dilakukan oleh perempuan, dengan menggunakan etem atau ani-ani
Selain daripada urutan dari proses huma, dikenal juga tujuh tingkatan utama dalam menggarap ladang, yaitu:
1). Mencari lahan garapan. Dengan melaksanakan upacara narawas.
2). Menyiapkan lahan garapan, termasuk didalamnya nebang semak belukar (nyacar), dengan melaksanakan upacara nukuh, nebang kayu (nuar), memangkas ranting-ranting (nutuh), mengeringkan sisa ranting (ngaganggang), membakar ualng sisa tebangan (ngaduruk), dan penyiangan rumput-rumput (nyasap).
3). Tanam padi, dengan melaksanakan upacara ngaseuk pare.
4). Masa pemeliharaan tanaman (ngarawat huma), menyiangi pertama (ngored munggaran), dengan melaksanakna upacara ngirab sawah, dengan menyiangi tahap kedua ngored ngarambas dengan menyelenggarakan upacara ngubaran pare.
5). Panen hasil (dibuat atau panen), dengan upacara mipit
6). Menyimpan hasil (ngaleuitkeun pare)
7). Memberakan lahan.

Tingkat Pertumbuhan Padi Ladang pada Masyarakat Baduy
Tingkat Pertumbuhan Padi
Keterangan
Sumihung
Tunas padi timbul seperti jarum; 1-2 minggu setelah tanam padi
Buni Tikukur
Pohon padi sudah berdaun, agak rimbun apabila burung tekukur berjalan di ladang tersembunyi tidak terlihat, kira-kira umur 1,5-2 bulan
Gede Pare
Pohon padi sudah besar, kira-kira umur 3 bulan
Ngadiukkeun
Pohon padi mulai ada ruas pendek-pendek, ruas padi apabila tersenggol mudah patah
Reuneuh Laki
Pohon padi sudah ada ruasnya 2-3, bagian pohon yang di atas bunting
Reuneuh
Pohon padi sudah semua bunting sesungguhnya
Culcel
Beberapa pohon padi mulai ada yang membengkak dan mulai timbul tangkai berpadi
Rampak Beukah
Semua pohon-pohon padi mulai ada yang membengkak dan memiliki tangkai padi
Beuneur Hejo
Buah padi sudah keluar dan berisi, namun masih hijau, umur 5 bulan
Koneng
Tangkai-tangkai dengan biji-biji padi matang pada bagian-bagian ujungnya, tiap hari tiap rangkaian itu berubah kuning
Beurat Sangga
Tangakai-tangkai padi sudah merata masaknya, namun padi belum masak betul, dibiarkan 3 hari 3 malam padi masak, mulai dapat dipanen, umur padi kurang lebih 5 bulan

Namun, dalam perkembangannya akibat pengaruh berbagai faktor seperti, pertambahan kepadatan penduduk, kebijakan pemerintah, dan perkembangan ekonomi pasar, sistem huma tersebut terdesak dan berubah menjadi sistem pertanian lainnya, seperti sawah.
Bertahun-tahun orang Belanda bersusah payah untuk membuat orang sunda menjadi penggarap sawah (panyawah), akan tetapi pembangunan sawah di Jawa Barat baru berhasil dengan datangnya orang Jawa dari Jawa Tengah ke Tatar Sunda.
Jadi pada masa silam, sistem pertanian yang utama di Jawa Barat adalah sistem lading atau huma. Selain itu, juga dikenal dengan sistem pertanian tipar, tanam padi di lahan kering secara semipermanen dan talun, menanam aneka jenis tanaman keras, seperti buah-buahan dan kayu-kayuan.
Sistem sawah yang sekarang ada, pada mulanya diperkenalkan pertama kali di Jawa Barat adalah oleh orang Jawa Tengah sekitar tahun 1750 M. Menurut laporan tertulis, penyebaran sawah ke daerah tataran Jawa Barat dimulai dari daerah Sumedang kemudian menyebar ke daerah Rancaekek. Sedangkan diwilayah bagian Barat, didaerah Banten, sistem sawah mulai diperkenalkan semenjak kerajaan Hindu Padjajaran runtuh dan didirikannya Kesultanan Banten. Pada saat itu, sawah menjadi ladAng pendapatan bagi sultan dan dinamai dengan sawah Negara.
Selanjutnya sawah di Jawa Barat kian meluas akibat semakin menyempitnya lahan di hutan, dan juga semakin bertambahnya populasi manusia. Berdasarkan sistem pengairannya, sawah dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: (a) sawah irigasi dan (b) sawah non irigasi, sawah tadah hujan atau sawah guludug. Sawah irigasi adalah sawah yang umumnya mendapat pengairan dari sistem irigasi. Sehingga sawah irigasi umumnya mendapat air yang berkecukupan sepanjang tahun, baik pada musim hujan maupun saat musim kemarau. Sedangkan sawah non irigasi atau sawah tadah tidak memiliki sistem irigasi, memperoleh pengairan dari hujan.
Masyarakat petani sunda mengenal dua musim yang berkaitan dengan kegiatan kalender pertanian dalam menggarap sawah, yaitu musim ngijih atau musim rending dan musim halodo atau musim katiga. Mengingat, penanaman padi dilakukan lebih intensif dan umumnya menggunakan benih baru, yang umur tanamnya 100 hari. Karena itu padi menanam padi dapat dilakukan sebanyak 3 kali dalam setahun.



Pada umumnya, dalam penggarapan sawah ada beberapa tahap-tahapan yaitu;
1)      memperbaiki saluran air.
2)      menyiapkan perbenihan disawah. Pengerjaan sawah yang paling dulu adalah membuat tempat perbenihan, yaitu petak sawah yang akan dijadikan tempat penebaran benih. Petak sawah yang dipilih untuk perbenihan biasanya di sungapa, yakni petakan sawah yang paling hulu yang pertanama kali mendapat air ini dimaksudkan agar petak sawah tidak kekurangan air.
3)      menyiapkan benih padi di rumah. Benih padi dipilih dari musim senelumnya, atau meminjam kepada kerabat atau membeli dikios petani. Beberapa hari sebelum ditebarkan ditempat perbenihan, benih padi sudah disiapkan dirumah. Biji padi selanjutnya direndam (dikeueum) semalam dalam sebuah wadah, setelah direndam biji padi di keringkan atau biasa di sebut dipeuyeum semalaman. Setelah dari gabah padi keluar tunas. Maka selanjutnya siap ditebarkan di sawah.
4)      penyiapan lahan sawah. Pertama-tama pematang sawah dibersihkan dengan parang atau biasa disebut ngababad galeng, kemudian pematang sawah diperbaiki (mopok galeng). Kemudian jumlah air di sawah dikurangi (disaatkeun), kemudian jerami bekas panen kemarin di dibabat memakai parang (babad jarami). Kemudian petak sawah dicangkul kasar atau disebut ngawalajar. Selanjutnya lahan sawah dicangkul, kemudian meluluhkan tanah supaya hancur menjadi lumpur atau disebut ngangler. Kemudian membuang rumput dan kotorannya (ngacak) seklaigus meratakan (ngararata).
5)      tanam padi (tandur). Penanaman padi biasanya dilakukan oleh para perempuan, baik kerabat yang menolong maupun yang berburuh (ngabedug).
6)      Menyiangi, pemberian pupuk dan pestisida. Menyiangi dilakukan oleh wanita dengan cara mencabut rerumputan menggunakan tangan.
7)      panen padi. Sebelum memanen padi biasanya yang punya memasang sawen. Sawen pada dasarnya adalah ciri atau tanda bahwa sawah itu akan dipanen. Sawen biasanya berupa tali yang membentang sekeliling sawah yang akan dipanen, maksudnya supaya jangan sampai salah panen kepada sawah orang lain. Memotong padi biasanya dilakukan oleh perempuan memakai etem (ani-ani).  Tidak setiap padi yang ditanam di sawah dapat dipotong menggunakan etem, jadi bisa juga menggunakan arit.
8)      penyimpanan padi di lumbung. Padi yang sudah dipanen selanjutnya disimpan didalam sebuah ruangan.
2.3 Alat-alat Pertanian Tradisional Masyarakat Sunda.
Dalam masyarakat sunda, terdapat banyak alat-alat tradisional yang khusus dipergunakan dalam mengelola pertanian.
1.      Bedog dan parang. Bedog dan Parang merupakan alat tradisional yang digunakan untuk memangkas dahan serta ranting di hutan ketika akan membuka lahan untuk perladangan (huma). Kedua alat ini dapat diguankan pada saat proses narawas.
                           
2.      Kored. Kored merupakan alat seperti cangkul, namun ukurannya lebih kecil, serta memiliki mata cangkul yang mengarah ke samping. Fungsi kored ini digunakan pada saat proses ngored saat akan menanam padi dengan cara ngahuma.

3.      Etem atau Ani-ani. Bentuk dari etem itu lebih unik karena pada dasarnya terdiri dari tiga bahan yaitu peso atau pisau nya, perah dan parungpung. Bentuk pisaunya memanjang dan disetiap ujungnya ada tanduknya. Etem digunakan ketika akan memanen padi.

4.      Cangkul. Cangkul digunakan untuk mencangkul tanah di sawah ketika akan mempersiapkan ladang untuk menanam padi. Cangkul ini sangat diperluan ketika proses penyiapan lahan sawah sebelum padi ditanam.

5.      Wuluku. Merupakan alat yang digunakan untuk membuat tanah sawah menjadi gembur. Penggunaan dari wuluku ini, biasanya memerlukan tenaga bantuan dari kerbau untuk menariknya.
            
6.      Caplak. Merupakan alat yang digunakan pada saat setelah proses mencangkul maupun menggenburkan tanah. Proses ini disebut ngangler atau ngagaru yang merupakan proses meratakan pematangan sawah dengan menggunakan caplak.

7.      Arit. Arit merupakan alat potong yang agak melengkung, terbuat dari besi yang tajam. Arit berfungi saat memanen padi, selain daripada etem, arit juga dipakai untuk memotong padi yang telah siap panen.

8.      Gebotan. Gebotan atau panggebot merupakan alat yang digunakan untuk menjadi alas yang terbuat dari bilah bambu yang disatukan. Gebotan memiliki fungsi untuk menjadi alas ketika akan merontokan bulir padi yang sudah dipotong sebelumya. Cara merontokan padi tersebut dengan cara memukulkan padi pada gebotan, dan bulir padi pun akan rontok.

9.      Gasrok atau lalandakan. Gasrok atau lalandakan  merupakan alat yang terbuat dari kayu atau besi yang bagian bawahnya runcing. Alat ini memiliki fungsi hampir sama dengan ngarambet, apabila ngarambet menyabuti rumput dengan tangan, maka ngagasrok melindas rumput yang nantinya akan tercabut dengan alat.
 
10.  Bebegig. Merupakan orang-orangan sawah yang dibuat untuk menakut-nakuti burung yang akan memakan padi. Bentuk bebegig dibuat menyerupai petani.




11.  Giribing. Merupakan anyaman bambu yang menyerupai bilik. Fungsi dari giribing ini digunakan sebagai alas untuk menjemur padi.

12.  Lisung dan Halu. Lisung dan halu memiliki fungsi untuk menumbuk padi yang telah kering, untuk kemudian hasilnya ditumbuk untuk membersihkan dan memisahkan antara kulit padi dengan beras.

13.  Nyiru. Nyiru merupakan alat yang terbuat dari anyaman bambu bagian kulit luar berbentuk bulat dan ujungnya direkatkan dengan kayu. Funsi dari nyiru atau nampan ini adalah untuk memisahkan kulit luar dan beras yang sudah ditumbuk.




2.4 Tradisi Pertanian Masyarakat Sunda.
Penduduk Baduy menganut suatu agama khusus yang disebut agama “sunda wiwitan” atau sunda asli. Menurut Krusemen (Grana 1987) agama sunda wiwitan itu pada prinsipnya adalah agama Budha yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Islam. Berdasarkan agama sunda wiwitan, masyarakat Baduy percaya terhadap tuhan yang tunggal yang disebut “Batara Tunggal”.
Berdasarkan agamanya itu mereka harus melakukan puasa dalam satu tahun tiga hari, yaitu yang disebut kawalu. Puasa pada hari pertama disebut “kawalu kahiji”, hari puasa kedua disebut “kawalu kadua” dan hari puasa ketiga disebut “kawalu tutug”. Puasa tiga hari ini pada bulan yang berbeda, yaitu pada tahun 1985/1986, hari pertama jatuh pada bulan kasa, hari kedua pada bualn karo, dan puasa hari ketiga pada bulan katiga. Pada kawula kahiji berada di daerah Cikeusik dan Cikartawarna jatuh pada tanggal 17, sedangkan di daerah Cibeo pada tanggal 18. Pada kawula kadua, di daerah Cikeusik dan Cikartawarna jatuh pada tanggal 18, sedangkan di daerah Cibeo pada tanggal 19. Dan pada kawula tutug, di daerah Cikeusik dan Cikartawarna jatuh pada tanggal 17,sedangkan di daerah Cibeo pada tanggal 18.
Masyarakat Baduy luar memilih di antara tanggal-tanggal tersebut, tergantung mengikuti aliran ke Cikeusik atau Cikartawarna ataupun ke Cibeo. Buka puasa, baik masyarakat Baduy dalam ataupun masyarakat Baduy luar sama-sama dengan pimpinan adat di daerah Baduy dalam. Berdasarkan agamanya itu, mereka juga mempunyai beberapa pantangan atau tabu atau pula disebut buyut, yaitu diantaranya:
1)      Dilarang menggali tanah,
2)      Dilarang bercocok tanaman padi di lahan basah atau sawah irigasi,
3)      Dilarang meracuni satwa liar dan ikan,
4)      Dilarang menggunakan obat-obatan kimia (prestisida), pupuk kimia dan lain-lain.



Sedangkan bertanam padi di lahan kering atau berladangadalah merupakan kewajiaban mereka dalam agama sunda wiwitan. Oleh karena itu tidaklah heran, bahwa mengerjakan ladang adalah merupakan usaha pokok dan telah menyatu dengan budaya mereka. Sehingga bila ada orang Baduy yang tidak mengerjakan ladang lagi, mereka dianggap bukan orang baduy lagi. Dan mereka itu dapat dikucilkan atau diasingkan oleh segenap warga lainnya.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan.
      Dalam masyarakat sunda mengenal empat mata pencaharian, diantaranya pahuma, panyawah, panggerek dan..... seiring dengan perkembangan masyarakat Sunda, lahan yang dahulu dipergunakan sebagai lahan pertanian, semakin menyempit dikarenakan beberapa fakor, diantanya pertumbuhan masyarakat yang semakin banyak, perkembangan industry yang semakin memakan lahan dari petani, serta kebijakan pemerintah yang turut andil dalam perkembangan pertanian masyarakat Sunda.
      Kemudian, dalam menjalankan setiap kegiatan pertanian, masyarakat sunda tidak telepas dari berbagai macam alat-alat pertanian tradisional yang dipergunakan dan juga tradisi yang menyelimuti setiap proses yang dilakukan dalam pertanian.



 
DAFTAR PUSTAKA
Ekadjati, Edi. S 2014. Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah. Bandung: Dunia Pustaka Jaya
Iskandar, Johan 1992. Ekologi Perladangan di Indonesia Studi kasus dari daerah Baduy Banten Selatan, Jawa Barat Jakarta: Djambatan
----------.2011.Agroekosistem Orang Sunda.Bandung.PT Kiblat Buku Utama
Prawirasuganda, A 1964. Upacara Adat di Pasundan Bandung: Sumur Bandung
 Sasmita, Mamat.2014. Pengetahuan Teknologi Tradisional Orang Sunda.Rumah Baca Buku Sunda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HISTORIOGRAFI G.W.F. HEGEL: STUDI KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN DAN KARYA NYA MENGENAI GERAK SEJARAH

MAKALAH SKDI(STUDI KAWASAN DUNIA ISLAM): KARAKTERISTIK ISLAM DI NEGARA TAJIKISTAN (ASIA TENGAH): PERSPERKTIF GEOPOLITIK , ETNO-LINGUISTIK, PENGALAMAN SEJARAH, DAN PAHAM KEAGAMAAN (TEOLOGI ISLAM, FIKIH, DAN ORDE SUFI)