MAKALAH SEJARAH AGRARIS DAN MARITIM INDONESIA (UU AGRARIA ZAMAN KOLONIAL DAN KEMERDEKAAN)
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Tanah
merupakan faktor pendukung utama kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat.[1]
Fungsi tanah tidak hanya terbatas pada kebutuhan tempat tinggal, tetapi juga
tempat tumbuh kembang, sosial, politik dan budaya seseorang maupun suatu
komunitas masyarakat.[2]
Tanah sebagai pendukung utama kehidupan ketika dijamah kolonial belanda dan
setelah merdeka banyak diperbincangkan, entah dari sejarah filosofisnya atau
dari segi berlakunya, indonesia telah banyak menuai “asam-manis”
kerasnya kehidupan menuju kehidupan yang berkeadilan dan sejahtera. Indonesia
telah banyak melewati masa-masa yang sangat keras. Seperti masa-masa
diberlakukanya Agrarische Wet pada tahun 1980, Regelings Reglement, dan
Indische StaatRegeling. Dan bahkan indonesia telah mempunyai undang-undang
khusus tentang Agraria yaitu Undang-undang Pokok Agraria(UUPA), yang dimana UU
itu muncul setelah indonesia memperoleh kemerdekaannya. Sebagai realisasi dan
keinginan pemerintah jajahan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya
dari hasil pertanian di Indonesia pemerintah berusaha mempersempit kesempatan
pihak-pihak pengusaha swasta untuk memperoleh jaminan yang kuat atas
tanah-tanah yang diusahainya, seperti untuk memperoleh hak eigendom. Kepada
para pengusaha oleh pemerintah hanya dapat diberikan hak sewa atas tanah-tanah
kosong dengan waktu yang terbatas yaitu tidak lebih dari 20 tahun sebagai hak
persoonliij. Tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan hutang. Demikian juga
dengan hak erfpacht oleh pemerintah tidak dapat diberikan, karena masih
menghargai hak-hak adat yang tidak rnengenal adanya hak erfpact.
Perjuangan
memperkuat kedudukan pengusaha-pengusaha pertanian di satu pihak dan penduduk
di lain pihak terjadi pada tahun 1860-1870, dengan memajukan rancangan wet yang
mengatur tentang pertanian yang dapat dilakukan di tanah-tanah bangsa
Indonesia.
Penduduk
Indonesia diberi izin menyewakan tanah kepada bukan bangsa Indonesia. Dalam
rancangan tersebut dimuat antara lain:
1.
Tanah negara (domein negara) dapat diberikan
hak erfpacht paling lama 90 tahun,
2.
Persewaan tanah negara tidak dibenarkan,
3.
Persewaan tanah oleh orang Indonesia kepada
bangsa lain akan diatur,
4.
Hak tanah adat diganti dengan hak eigendom,
5.
Tanah komunal diganti menjadi milik, jasan,
6.
Wet ini hanya
berlaku di Jawa dan Madura,
Dengan
amandemen Portman tidak menyetujui hak milik adat menjadi hak eigendom, dan milik
adat tetap dijamin permakaiannya. Akhirnya pada tahun 1870 dibawah pimpinan
Menteri Jajahan De Waal, Agrarische Wet ini
ditetapkan dengan S. 1870-55. Tangga1 24 September 1960 merupakan suatu tanggal
yang penting dalam kehidupan hukum di Indonesia, karena pada tanggal tersebut
telah diundangkan dan mulai berlaku Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria” (Lembaga Negara 1960 No.104 n).
Dengan
lahirnya Hukum Agraria Nasional dengan nama populer UUPA, maka secara total hukum
Agraria Kolonial dihapuskan. Dengan hapusnya hukum Agraria Kolonial, maka
merupakan sejarah baru dan suasana baru bagi rakyat Indonesia untuk dapat
menikmati sepenuhnya bumi, Air, ruang angkasa dan kekayaan alam Indonesia ini,
terutama kaum tani yang selama ini menompang di atas tanahnya sendiri. Hak-hak
atas tanah yang dipunyai oleh rakyat tani yang selama ini tidak mempunyai
jaminan yang kuat, sekarang dengan berlega hati, telah dapat meminta agar
tanahnya dapat diberi perlindungan dengan hak-hak yang diberikan kepadanya.
Hukum Agraria Nasional (UUPA) yang
merupakan perombakan hukum Agraria Kolonial bertujuan untuk memperbaiki kembali
hubungan manusia Indonesia dengan tanah yang selama ini sudah tidak jelas lagi.
Perombakan hukum agraria kolonial itu dimaksudkan untuk merobah hukum kolonial
kepada hukum nasional sesuai dengan cita-cita nasional, khususnya para petani.
Selain itu untuk menghilangkan dualisme hukum yang berlaku serta memberikan
kepastian hukum atas hak-hak seseorang atas tanah.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan pada latar belakang yang
telah di jelaskan maka dapat dibuat perumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
Perkembangan UU Agraria?
2.
Bagaimana
Kebijakan-kebijakan pada Masa Belanda?
3.
Bagaimana
Kebijakan-kebijakan pada Masa Jepang?
4.
Bagaimana
Kebijakan-kebijakan pada Masa RI?
C.
Tujuan
Masalah
Berdasarkan rumusan diatas, tujuan penulisan ini adalah untuk:
1.
Mengetahui
Perkembangan UU Agraria.
2.
Mengetahui
Kebijakan-kebijakan pada Masa Belanda.
3.
Mengetahui
Kebijakan-kebijakan pada Masa Jepang.
4.
Mengetahui
Kebijakan-kebijakan pada Masa RI.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan UU Agraria.
ü Sebelum Indonesia
merdeka
Masa
Sebelum Agrarische Wet
Konflik
pendekatan antara golongan Liberal dan Golongan konservatif di Belanda
mengakibatkan raja mengeluarkan instruksi pada Gubernur Jendral utuk melakukan
suatu survey di Jawa, pada tahun 1870 (hasil survey tanah di Jawa belum
disusun), pemerintah belanda mengeluarkan Agrarische Wet yang isinya menekankan
pada dua hal: dimungkinkannya peusahaan-perusahaan perkebunan swasta dan
diakuinya eksistensi tanah-tanah pribumi atas hak adat mereka.[3]
Kaum
liberal menekankan perlunya perusahaan swasta diijinkan untuk mengolah tanah,
yaitu dengan mengakui hak kepemilikan perseorangan atas tanah yang dimiliki
oleh orang Indonesia asli sehingga tanah tersebut dapat disewakan atau dijual
oleh mereka; dan menyatakan semua tanah yang kepemilikannya tidak dapat dibuktikan
menjadi tanah negara. Oleh karena itu dapat tersedia tanah yang cukup untuk
disewakan kepada pihak swasta untuk jangka waktu yang lama (99 tahun) pada
tingkat harga yang rendah.[4]
Kaum konservatif menentang usul ini dengan menyatakan bahwa hak penduduk asli
atas tanah didasarkan pada syarat-syarat yang bersifat asli, pengusaan bersama
dan kebiasaan yang tidak dapat disatukan dengan konsep “hak milik” dari Barat
modern.[5]
Tahun 1854,
Partai Liberal, yang telah berkembang menjadi partai yang berkuasa sejak tahun
1848, melakukan pengawasan, melalui parlemen, atas masalah-masalah Hindia
Belanda. Van de Putte, seorang pemimpin dari partai itu, mengajukan suatu
Rancangan Undang-Undang Cultuur (Perkebunan). Rancangan ini mencita-citakan
pengalihan tanah milik bersama menjadi milik perseorangan. Ini sebagian
didasarkan pada pemikiran bahwa kepemilikan bersama dianggap sebagai suatu
hambatan terhadap pengolahan tanah yang baik, tetapi sebab yang utama adalah
kepemilikan perseorangan akan memudahkan penyewaan dan pembelian tanah-tanah
oleh orang Eropa.[6] Golongan
konsevatif yang sejak mula menentang perusahaan swasta di Jawa, merasa bahwa
usul ini akan melanggar hak-hak penduduk asli. Namun, dibalik itu adalah kekhawatiran
bahwa pengakhiran milik bersama atas tanah, akan mengakibatkan suatu tingkat
“kemakmuran”, akan hilang dengan adanya kepemilikan swasta, dan mengakibatkan
kesulitan dalam mendapat tanah dan tenaga kerja.[7]
Fraksi yang menekankan kemanusiaan di Partai
Liberal yang dipimpin Van Hoevell, mendukung pandangan Partai Konservatif yang
tidak menginginkan campur tangan atas adat istiadat dan penguasaan tetap
penduduk asli kekalahan atas
rencana ini.
Sampai
dengan awal abad ke-19 kebijakan Agrarische Wet tidak berubah secara mendasar,
pemerintah hanya mnegeluarkan aturan sewa tanah tahunan yang berlaku dalam
jangka waktu tertentu. Tujuan kelompok Liberalisasi adalah:[8]
1. Agar pemerintah memberikan pengakuan
terhadap penguasaan tanah oleh pribumi sebagai Hak milik mutlak, (eigendom),
yang memungkinkan penjualan dan penyewaan karena tanah-tanah dibawah Hak komunal
tidak diperkenankan untuk dijual atau disewakan keluar;
2. Agar dengan asas domein,
pemerintah memberikan kesempatan kepada penguasa swasta untuk dapat menyewa
tanah jangka panjang dan murah yang nantinya
diberikan hak erfpacth.
Agrarisce
Wet adalah suatu Undang-undang (yang dalam bahasa belanda kata “Wet”
berarti Undang-undang) yang dibuat di negeri Belanda
pada tahun 1870, Agrarisce
Wet diundangkan dalam
S-1870-55 sebagai tambahan ayat-ayat baru pada pasal 62
regerings Reglement Hindia Belanda tahun 1854, semula terdiri dari 3 ayat.
Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 sampai dengan 8) Oleh Agrarisce Wet,
maka Regerings Reglement terdiri atas 8 ayat.[9]
Sebagai peraturan pelaksanaan dari Agrariche wet,
dengan keputusan Raja, tanggal 20 Juli 1980 No. 15 ditetapkan Keputusan agraria
(Agrarisch Bsluit atau Perpu) dengan S. 1870-118, yang berlaku untuk
Jawa Madura. Sedangkan untuk luar Jawa dan Madura sesuai dengan apa yang
ditetapkan dalam peraturan ini, akan diatur dengan suatu ordonnantie.
Pada
pasal 1. Agrarisch besluit, dimuat tentang pernyataan-pernyataan secara umum (algemene-domeinverklaring)
yang menganut suatu prinsip (azas) agrarian yaitu pernyataan bahwa semua
tanah yang tidak dapat dibuktikan eigendom seseorang adalah tanah negara
(domein vanden Staat) Negara adalah sebagai eigenaar (pemegang hak
milik) atau jika terbukti ada hak eigendom orang lain diatasnya. Dengan
berlakunya dualisme hukum pertanahan di Indonesia, yang disamping berlakunya
hukum adat berlaku juga hukum barat, maka mengenai hak-hak atas tanah dikenal
hak-hak adat dan hak-hak barat di dalam KUH Perdata, buku kedua, tentang Hak
Kebendaan, dikenal beberapa hak perorangan atas tanah, seperti hak eigendom,
opstal, erfpacht, sewa hak pakai (gebruik) , hak pinjam (bruikleen).
Jika
sebidang tanah di wilayah persekutuan itu telah dikerjakan oleh seseorang
warganya secara terus menerus maka hubungannya dengan Tanah itu semakin kuat,
sebaliknya hubungan tanah itu dengan persekutuannya semakin renggang dan lama
kelamaan tanah itu akan di akui sebagai hak milik dari orang yang
mengerjakannya.
Pada
masa penjajahan jepang, Peraturan-peraturan pertanahan yang berlaku sebelum masa penjajahan Jepang masih tetap
berlaku, karena masa penjajahan
yang begitu singkat belum sempat terpikirkan untuk mengadakan perombakan
terhadap hukum pertanahan. Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang hukum
agraria pada jaman Jepang, keculai kekacauan dan keadaan yang tidak menentu
terhadap penguasaan dan hak- hak atas tanah sebagaimana layaknya pada keadaan
perang. Pemerintah jepang dalam melaksanakan kebijakan pertahanan dapat dikatakan hampir
sama dengan kebijakan yang pemerintah hindia belanda.[10]
Penduduk jepang mengeluarkan suatu
kebijakan yang dituangkan dalam Osamu Serey nomor 2 tahun 1944, dan Osamu
Serey yang terakhir nomor 4 dan 25 tahun 1944.[11]
Dalam
pasal 10 Osamu Serey tersebut dinyatakan bahwa untuk sementara
waktu dilarang keras memindah tangankan harta
benda yang tidak bergerak, suat-surat berharga, uang simpanan dibank, dan
sebagainya dengan tidak mendapat izin terlebih dahulu dari tentara Dai Nippon[12].
Terhadap tanah pertikelir diurus oleh kantor siryooty kanrikosya dimana tanah-tanah
pertikelir tidak lagi diusahakan atas dasar hak-hak
pertuanan.[13]
Masa
Agrarische Wet
Domain
Verklaring
Ketentuan
Agrariasche Wet pelaksanaanya diatur lebih lanjut dalam berbagai
peraturan dan keputusan, diantara yang perlu dibahas adalah suatu koninklijk
belsuit yang dikenal dengan sebutan Agrarische belsuit. Ini
diundangkan dalam S.1870-118.[14]
Agrarische
belsuit hanya berlaku di Jawa dan madura, maka apa yang dinyatakan dalam
pasal 1 yang berbunyi “dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal
2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas semua tanah yang pihak lain
tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara.”.[15]
ini dikenal dengan sebagai domein Varklaring (pernyataan domein) semula juga
berlaku untuk Jawa dan Madura saja, tetapi kemudian pernyataan domein tersebut
diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung diluar Jawa dan Madura,
dengan suatu ordonansi yang diundangkan dalam S.1875-119.[16]
Teori
domein ini menciptakan hak-hak barat tertentu, seperti hak eigendom, hak
opstal dan hak erfpacht, namun juga membiarkan hak-hak adat terus berlanjut
sehinga di Jawa khususnya terdapat bermacam-macam hak yaitu hak milik adat, hak
milik individu, hak milik yang didasarkan pada agrarische eigendom, hak
milik yang diberikan oleh pemerintahan Belanda pada pribumi, hak milik kerajaan
hak milik sewa, membangun mengusahakan hak-hak milik orang lain serta hak-hak
atas tanah pemerintah yang dikuasai oleh orang-orang asing asia(China yang
berlokasi di Jakarta, Karawang dan Bekasi)[17]
Dalam
praktek pelaksanaan perundang-undangan pertahankan domein verklaring, yang berfungsi:
1.
Sebagai landasan hukum bagi pemerintah
yang diwakili negara sebagai pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat
yang diatur dalam KUH perdata,
seperti hak efparth, hak opstal dan lain-lainya. Dalam rangka
domein verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan
dengan cara pemindahan hak milik negara kepada penerima tanah.
2.
Dibidang pembuktian pemilikan.
Pada
tahun 1874 pemerintah mengeluarkan Staadblad nomor 97 yang menetapkan bahwa
tanah-tanah dalam kekuasan desa adalah tanah penggembalaan bersama, tanah untuk
usaha pertanian penduduknya secara terus-menerus, tanah untuk kepentingan umum,
selain tanah-tanah itu, ketika akan dipergunakan seharusnya dengan izin
pemerintah. Dalam kenyataannya, staadblad ini menimbulkan berbagai pertentangan.
Dengan adanya berbagai pertentangan tersebut,
pemerintah akhirnya hak-hak pribumi atas kepemilikan sebidang tanah yang
berasal dari pengolahan atau
pengambilan hasil hutan dengan cara diakui
dan disetujui oleh para
tetangga, kepala desa dan residen. Mulai saat itu
terjadi penguatan konflik kepentingan antara masyarakat adat dengan pemerintah
mengenai tanah-tanah hak
milik dan hak ulayat.[18]
Lalu
pada masa itu juga ada yang disebut tanah-tanah Landerijenberzitrecht
oleh Gouw Giok Siong disebut sebagai tanah-tanah tioghoa,[19]
karena subyeknya terbatas pada golongan asia timur tertua orang cina, para
golongan itu banyak mempunyai tanah di sekitar Jakarta, Karawang dan Bekasi
yang disebut “tanah pertikelir” dengan “hak usaha”, seperti hak
orang-prang pribumi jika tanah partikelir yang bersangkutan kembali kepada
negara, maka hak usaha yang memegang hak menjadi hak milik adat, yang subyeknya
timur asing, semula apa yang menjadi disebut “altijddurende erfpacht”, kemudian
dengan S.1926-121 menjadi Landerijenberzitrecht pada hakikatnya hak ini
tidak berbeda dengan hak mlik adat.[20]
Kemungkinan
bagi non pribumi untuk memperolah tanah hak adat dibatasi oleh
peraturan-peraturan yang dikenal sebagai larangan pengasingan tanah (ground
vervreemdingsverbod) yang diundangkan dalam S.1875-179, yang menyatakan bahwa
“hak milik adat atas tanah oleh orang-orang pribumi tidak dapat dipindahkan
kepada orang non pribumi”, oleh karena itu semua perbuatan yang bertujuan untuk
secara langsung ataupun tidak secara langsung memindahkanya adalah batal karena
hukum.[21]
ü SETELAH
INDONESIA MERDEKA
Masa Sebelum
terbentuknya undang-undang pokok agraria(UUPA)
Pada periode setelah Indonesia merdeka yaitu
setelah pendudukan Jepang berakhir di Indonesia,
banyak produk hukum legislasi yang dikeluarkan termasuk produk hukum gararia nasional.
Produk hukum agraria
tersebut dapat dikerjakan dalam waktu yang sangat panjang
pada periode ini baru selesai
setelah terjadi perubahan sistem politik atau periode sesudahnya.[22]
Hukum agraria produk hukum ada jaman kolonial memiliki karakter
ekploatif, dualisik dan feodalik.[23]
Terutama adanya asas domein varkring yang menyertainya, sangat bertentangan
dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat, oleh karena itu timbul tuntutan segera diadakan perbaharuan
hukum agraria.[24]
Meskipun bangsa Indonesia telah
memproklamirkan kemerdekaannya serta menciptakan suatu landasan ideal dan
Undang-undang Dasar, namun untuk melakukan perombakan hukum kolonial secara
total tidak mungkin dapat dilaksanakan dalam waktu yang singkat. Beberapa
ketentuan agraria baru sebagai awal dari perombakan agrarian Kolonial antara
lain:
1.
Pengawasan terhadap Penindakan Hak-Hak Atas
Tanah.
Oleh karena belum ada waktu yang
cukup untuk mengatur kedudukan tanah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
pasal 33(3) Undang-Undang Dasar 1945 maka untuk menyelamatkan aset negara, agar
dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang kelak dibuat yang
mengutamakan hak warga Negara tidak semakin sulit perlu pengawasan tentang
pemindahan hak-hak Barat baik berupa serah pakai atau dengan cara lainnya yang
melebihi jangka waktu 1 tahun Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1952, menentukan
tentang pemindahan hak tanah-tanah dan benda tetap lainnya, menyebutkan
penyerahan hak pakai buat lebih dari setahun perbuatan pemindahan hak mengenai
tanah dan barang-barang tetap lainnya yang tahluk hukum Eropah hanya dapat
dilakukan dengan izin dari Menteri Agraria.
2.
Penguasaan Tanah-Tanah
Sesuai dengan domein yang dianut
oleh hukum agraria pada jaman kolonial, yang mengatakan bahwa semua tanah yang
diatasnya tidak ada eigendom seseorang atau milik menurut hukum adat adalah
milik negara yang bebas (vrijland'sdomein). Pada jaman penjajahan Jepang untuk
memperlancar usaha-usaha rangan-maka fungsi vrijlandsdomein ini mulai
menyimpang. Kepada instansi atau departemen diberi keleluasaan untuk
mempergunakan hak tanah sebagaimana yang dikehendakinya bahkan banyak pindah tangankan atau
diterlantarkan. Untuk menertibkan keadaan ini pemerintah mengeluarkan suatu
peraturan tentang Penguasaan Tanah Negara ini yaitu P.P Nomor 8 Tahun 1953. Di
dalam Peraturan pemerintah ini dijelaskan bahwa penguasaan atas tanah negara
diserahkan Menteri Dalam Negeri kecuali jika penguasaan ini oleh Undang-undang
atau peraturan lain telah diserahkan kepada suatu kementerian.
3.
Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat
Sebagai akibat dari pemakaian
tanah-tanah oleh rakyat yang bukan haknya (tanah negara atau tanah hak orang
lain), yang pada masa penjajahan
Jepang di perkenankan untuk menimbulkan krisis bahan makanan, di khawatirkan
keadaan ini semakin menimbulkan masalah, banyak tanah-tanah perkebunan menjadi
sasaran penggarapan rakyat, hingga keadaan perkebunan semakin memprihatinkan.
Untuk mencegah semakin meluasnya penggarapan yang dilakukan oleh rakyat
terhadap tanah-tanah perkebunan dimaksud, maka dengan Undang-Undang Darurat
nomor 8 Tahun 1954., ditetapkan bahwa kepada Gubernur ditugaskan untuk
mengadakan perundingan antara pemilik perkebunan dan rakyat penggarap mengenai
penyelesaian pemakaian tanah itu. Di dalam penyelesaian pemakaian ini harus
diperhatikan kepentingan rakyat, kepetingan penduduk di tempat letaknya
perkebunan dan kedudukan Jun dalam perekonomian negara.
4.
Penghapusan Tanah- Tanah Partikulir
Sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia yang tercantum dalam landasan ideal Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, yang menginginkan adanya kehidupan yang adil dan merata sesuai dengan
sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka ketentuan-ketentuan
pertanahan yang berlaku pada zaman Hindia Belanda yang nyata-nyata bertentangan
dengan rechts-idea bangsa Indonesia harus segera dihapuskan, 'Ketentuan yang
bertentangan itu antara lain pengakuan tentang tanah-tanah partikulir. Oleh
karena itu maka dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958, tanah-tanah partikulir
ini dihapuskan. Yang dimaksud dengan tanah partikulir dalam Undang-Undang
inilah tanah eigendom di atas mana pemiliknya sebelum Undang-Undangi berlaku
mempunyai hak-hak pertuanan (Pasal I UU
No. I Tahun 58) Yang dimaksud dengan hak pertuanan ialah :
1)
hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikan
serta memberhentikan kepala-kepala kampung atau desa dan kepala-kepala umum.
2)
hak untuk menuntut kerja paksa atau memungut
uang pengganti kerja paksa dari penduduk.
3)
hak mengadakan pungutan-pungutan baik yang
berupa biaya atau hasil tanah dari penduduk.
4)
hak untuk mendirikan pasar-pasar, memungut
biaya pemakaian jalan dan penyeberangan.
5)
hak-hak yang menurut peraturan lain dan/atau
adat setempat sederajat dengan hak pertuanan.
Dengan dihapuskannya tanah-tanah
partikulir ini, maka tanah sebut menjadi tanah negara. Kepada pemilik tanah diberikan ganti
rugi berupa uang atau bantuan lainnya. Berdasakan pada ketentuan dalam Pasal II
aturan perlihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut undang-undang dasar
ini”.[25]
Maka peraturan perundang-undangan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial
belanda masih tetap dapat diberlakukan selama pemerintah belum dapat membuat
produk hukum-hukum baru yang sesuai dengan jiwa kemerdekaan.[26]
Untuk memenuhi tuntutan tersebut
pada tanggal 6 maret 1948. Presiden membentuk sebuah komisi yang dikenal dengan
panitia tanah konvesi. Pada komisi ini lahir
Undang-undang nomor 13 tahun 1948 yang mengahapus hak konversi, sementara
sambil menunggu aturan lebih lanjut maka pemerintah
mengeluarkan undang-undang
darurat nomor 6 tahun 1951. Tentang perubahan
peraturan persewaan tanah rakyat, kemudian undang-undang ini dikukuhkan menjadi
undang-undang no.6 tahun 1952.
Kemudian pula dibentuk undang-undang nomor 1 tahun 1952 tertanggal 2 januari
1952 yang kemudian dikukuhkan menjadi undang-undnag nomor 24 tahun 1954 tentang
pemindahan dan pemakaian tanah-tanah dan barang tetap lainnya. Yang
mempunyai titel menurut hukum eropa dan ditindak lanjuti dengan surat
keputusan menteri kehakiman nomor JS.5/1/19 tanggal 7 januari 1952 serta
tambahan lembaran negara
nomor 262.[27]
Akhirnya di pertengahan tahun 1954
pemerintah Indonesia dapat
megeluarkan peraturan tentang hukum
agraria yaitu UU no 24 tahun 1954 tentang penetapan Undang-undang darurat
tentang pemindahan hak tanah-tanah dan barang-barang tetap lainya yang tunduk
pada hukum eropa. Undang-undang yang berhasil dibuat oleh pemerintah setelah
merdeka sebelum lahirnya undang-undang pokok agraria (UUPA) antara lain:[28]
a.
UU no 13 tahun 1948 yang disempurnakan oleh UU
no. 5 tahun 1950 tentang penghapusan hak konversi.
b.
Undang-undang nomor 1 tahun 1958 tetang tanah
partikelir.
c.
UU no.6 tahun 1952 tentang perubahan persewaan
tanah rakyat
d.
UU no.24 tahun 1954 tentang penambahan
peraturan dalam pengawasan pemindahan hak atas tanah
e.
UU no 78 tahun 1957 penarika besanya canon
dan cijns
f.
UU darurat no. 1 tahun 1956 tentang larangan
dan penyesuaina pemakaian tanah tanpa izin
g.
UU no. 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi
hasil
h.
Kepre no. 55 tahun 1955 dan undang-undang no. 7
1958. Dan masih banyak aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah.
ü Sejarah
pembentukan undang-undang pokok agraria (UUPA)
Sejak awal kemerdekaan telah
dibentuk komisi atau panitia yang diberi tugas
menyusun dasar-dasar ukum agraria yang
baru, panitia tersebut diantaranya adalah:[29]
·
Panitia Agraria Jogja, dengan penetapan
Presiden no. 16 tahun 1948, panitia ini menghasilkan 12 butir saran yang
disampaikan kepada DPR bulan juli 1948;
·
Panitia Agararia Jakarta, 19 maret 1951 dengan
putusan presiden no. 36 tahun 1951, panitia Jogja dibubarkan dan digantikan
oleh panitia Jakarta yang dikuasai oleh Sarimi Reksodihardjo, wakil ketua sadjarwo,
sarimin digantikan oleh singgih Praptodihardjo sehubungan diangkatnya menjadi gubernur
Nusa tenggara. Panitia Jakarta
menghasil kan 5 kesimpulan;
·
Panitia Shuwardjo dengan
keputusan presiden no 1 tanggal 9 maret 1956, panitia ini diberi tugas untuk mempersiapka
Rancangan undang-undang Pokok agraria.
·
Rancangan sunardjo, diajukan kepada DPR tanggal
24 april 1958 disebut rancangan sunardjo karena pada sat itu menteri agraria
yang mewakili pemerintah mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR adalah sunardjo,
setelah dibahas, DPR membentuk panitia Ad Hoc yang diketuai oleh AM.tambunan.
Dalam pembahasan dan persetujuan RUU
Agararia ini, yang diajukan kepada DPR-GR yang diketuai pada waktu itu oleh
Haji Zainun arifin dalam sidang pleno
12 september 1960. Dalam pembahsan ini DPR hanya melakukan 3 kali sidang yaitu
pada tanggal 12,13,14 september 1960 pagi, seluruhnya hanya diperlukan 6 jam
saja pembicaraan , untuk persiapan pembicaraan diperlukan seluruhnya lebih dari
45 jam, diantaranya lebih dari 20 jam untuk pertemuan informal diluar forum
resmi sidang.
Pengesahan, pengundangan dan
berlakunaya pada hari sabtu tanggal 24 september 1960. Rancangan undang-undnag
yang telah disetujui oleh DPR-GR
tersebut disahkan Presiden soekarno menjadi undang-undang no.5 tahun 1960.dengan peraturan
dasar pokok-pokok agraria.[30]
Masa diberlakukanya Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA)
Tahun 1960 merupakan tahun keemasan bagi hukum
agraria nasional, karena pada tahun tersebut lahir Undang-undang nomor 5 tahun
1960 yang disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Lahirnya UUPA yang
memakan waktu 12 tahun penggodokan memiliki arti penting bagi masalah
pertanahan nasional khususnya bagi kaum tani. Tidak heran jika sempat juga
dikeluarkan keputusan Presiden yang menyatakan bahwa tanggal 24 September
merupakan hari lahir UUPA sebagai hari Tani. UUPA bermaksud untuk mengatasi
dualisme hukum yang masih berlaku berkaitan dengan pengaturan sumber-sumber
agraria di Indonesia, yaitu hukum barat warisan Belanda Agrarisch Wet 1870
dan hukum adat. Dengan demikian, UUPA 1960 merupakan hukum nasional yang baru
yang disesuaikan dengan keadaan-keadaan baru di lapangan agraria dan ditujukan
pada pencapaian tatanan agraria yang adil. Terutama pentingnya perlindungan
bagi golongan ekonomi lemah (buruh tani dan petani miskin). Namun
demikian, UUPA 1960 yang memberi legitimasi secara formal terhadap pelaksanaan
Reforma Agraria dan terlebih pelaksanaan Land Reform di
Indonesia, sejauh ini tidak bisa disimpulkan bahwa UUPA 1960
telah dijalankan.[31]
Peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan
yang dicabut karena barunya
Undang-undang pokok agraria, antara lain:
· Seluruh pasal
51 IS.jadi juga termasuk ayat-ayat yang merupakan Agrarich Wet,
· Semua
pernyataan domein dari pemerintah hindia belanda
· Peraturan
mengenai Hak agrarische Eigendom (S.1872-117 dan S.1873-38)
· Pasal-pasal
buku ke II Kitab undang-undang hukum perdata sepanjang mengenai agraria.[32]
Pada era ini aroma kapitalisme lebih
kuat mencengkeram sehingga berpengaruh pada kebijakan negara soal agraria.
Dalam pandangan Noer Fauzi politik agraria dan pengelolaan sumber daya alam
yang kapitalistik dijalankan Orde Baru secara sentralistik, otoritarian dan
sektoral sepanjang 32 tahun (Noer Fauzi, 2007). Kondisi ini tidak memberi ruang
yang leluasa bagi program agraria yang berpihak pada rakyat. Justru sebaliknya
ekspansi kapitalisme perkebunan semakin kuat dan banyak menyerobot tanah rakyat
sehingga memicu maraknya konflik agraria dibelakang hari.
Masa Demokrasi terpimpin Masa
Orde baru
Program landreform memiliki tujuan untuk
memperkuat dan memperluas pemilikan tanah bagi warga negara Indonesia, terutama
kaum tani. Juga untuk menghapus sistem tuan tanah dan pemilikan tanah tanpa
batas. Dalam hal ini, pemilikan tanah tanpa batas tidak diperkenankan lagi
sehingga diatur luas maksimum tanah yang dapat dimiliki. Kelebihan tanah dari
batas maksimum itu diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk kemudian
dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan dalam program redistribusi tanah.
Sejak awal pelaksanaannya tahun 1961, program landreform sering dianggap
sebagai gagasan PKI, konsepsi komunis, lebih-lebih setelah terjadinya Gerakan
30 September PKI. Dengan dibubarkannya partai komunis itu, dianggap perlu juga
untuk membubarkan program landreform dan tanah-tanah yang telah diredistribusi
kepada rakyat harus dikembalikan kepada pemiliknya semula. Padahal, konsep
landreform yang memberi penggantian kerugian berbeda dengan konsepsi komunis di
mana tanah diambil negara tanpa suatu ganti rugi. Jatuhnya Soekarno sebagai
Pemimpin Besar Revolusi ternyata tidak menyurutkan pelaksanaan landreform. Di
bawah payung Orde Baru, landreform tetap dijalankan. Bahkan Presiden Soeharto
sendiri menyatakan, Pelaksanaan landreform harus berjalan terus, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan agar supaya diselesaikan
pelaksanannya secepatnya”.
Namun, sekali lagi, tujuan mulia ini
hanya sebatas pintu gerbang. Dalam praktek, pemerintahan Orde Baru mengupayakan
pengelolaan lahan seluas-luasnya bagi pengusaha pemilik modal. Hal ini sesuai
dengan arah politik pemerintah Orde Baru saat itu yang ingin mendongkrak
pertumbuhan ekonomi. Rekayasa dan intimidasi menjadi bagian dari
praktek-praktek pelepasan hak atas tanah dari rakyat petani kecil. Kini, ketika
angin reformasi berhembus, ketika Orde Baru tumbang, kaum petani kembali ambil
suara. Mereka menuntut kembali tanah-tanah mereka yang dulu diambil dalam
gerakan reclaiming. Tidak jarang reclaiming tersebut dibarengi dengan
ketegangan fisik dan upaya-upaya destruktif.
Masa Reformasi
Momentum tersebut semakin menggelinding dengan
dikeluarkannya TAP MPR RI No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam. Selanjutnya pidato politik Presiden RI pada 31
Januari 2007 tentang reforma agraria menyebutkan bahwa program reforma agraria
dilakukan secara bertahap dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin.
Menurut SBY tanah tersebut berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang
menurut hukum pertanahan boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat (Pidato
Politik Presiden 2007).
Selanjutnya BPN-RI mengusung sebuah
program yang disebut dengan PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang
didengungkan akan mengalokasikan tanah objek reforma agraria seluas 9,25 juta
hektar (8,15 juta ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari
tanah di bawah kewenangan langsung BPN) (Joyo Winoto, 2006 dalam Noer Fauzi,
2007). Namun program yang telah dicanangkan sejak 2006 tersebut hingga akhir
2008 ini belum juga terealisasi. Peraturan Pemerintah yang diharapkan menjadi
payung hukumnya juga belum ditandatangai oleh Presiden RI. Belum lagi
permasalahan isi materi tentang alokasi yang adil bagi petani miskin. Reforma
agraria yang disampaikan oleh SBY tersebut masih pada retorika politik yang
belum menunjukkan tanda-tanda realisasi. Kekhawatiran
para penggiat reforma agraria adalah bahwa kekuatan neoliberalisme di negara
kita sudah sangat kuat. Sistem yang kapitalistik ini sudah semakin meresap ke
dalam sistem kita. Reforma agraria yang bernafas populis dan berpihak kepada
rakyat dianggap tidak mencerminkan negara yang menjunjung tinggi liberalisasi
ekonomi. Watak era sekarang sama dengan orde baru, aroma kental kepentingan
modal (kapitalisme).
Saat ini petani yang memperjuangkan tanahnya
rentan untuk dikriminalisasi oleh negara karena dianggap melanggar UU No.18
Thn. 2004 tentang Perkebunan. Untuk Sumatera Utara saja kriminalisasi terhadap
petani antara lain terjadi pada kasus ditahannya 29 warga Banjaran Secanggang
Langkat pada Juni 2008 lalu, kriminalisasi terhadap para petani di Pergulaan
Serdang Bedagai, kriminalisasi terhadap petani di Maria Hombang Simalungun.
Catatan tentang permasalahan konflik dan sengketa yang terjadi menurut Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara paling sedikit ada 699 kasus konflik/sengketa tanah yang ada di Sumatera Utara. Hal tersebut tentunya bisa muncul karena adanya ketidakadilan dan merupakan cerminan belum terpenuhinya hak-hak rakyat
ada rentang waktu yang sangat panjang yakni 48 tahun sejak UUPA diundangkan sampai dengan 2008 ini. Namun belum terlihat kebijakan yang signifikan yang mewujudkan keadilan agraria tersebut. Peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang ada selanjutnya ternyata banyak yang tidak senafas dengan semangat UUPA seperti UU No.11/1967 Tentang Pertambangan, UU No.5/1967 tentang Kehutanan, UU No.25/2007 tentang Penanam Modal, UU No.1/1974 tentang Pengairan dan UU No. 9/1985 tentang Perikanan.
Catatan tentang permasalahan konflik dan sengketa yang terjadi menurut Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara paling sedikit ada 699 kasus konflik/sengketa tanah yang ada di Sumatera Utara. Hal tersebut tentunya bisa muncul karena adanya ketidakadilan dan merupakan cerminan belum terpenuhinya hak-hak rakyat
ada rentang waktu yang sangat panjang yakni 48 tahun sejak UUPA diundangkan sampai dengan 2008 ini. Namun belum terlihat kebijakan yang signifikan yang mewujudkan keadilan agraria tersebut. Peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang ada selanjutnya ternyata banyak yang tidak senafas dengan semangat UUPA seperti UU No.11/1967 Tentang Pertambangan, UU No.5/1967 tentang Kehutanan, UU No.25/2007 tentang Penanam Modal, UU No.1/1974 tentang Pengairan dan UU No. 9/1985 tentang Perikanan.
Harapan tentang reforma agraria yang sejati
tentunya masih menjadi cita-cita bersama yang harus juga didorong secara
bersama-sama. Niat baik negara masih terus ditunggu untuk secara bersungguh-sungguh
dalam menjalankan janji-janjinya. Bersungguh-sungguh berarti benar-benar
memberikan keadilan bagi para petani miskin yang tidak memiliki tanah sebagai
alat produksi.
B. Kebijakan-kebijakan pada Masa Belanda.
Sebagaimana
yang dilansir oleh para sejarawan pada umumnya, banyak negara di Eropa pada
abad XVI dan XVII mulai menemukan bentuk dan identitas nasionalnya. Salah satu
prasyarat bagi tegaknya identitas nasional suatu negara (bangsa), adalah
memperkuat kedudukannya di dalam negeri yang diwujudkan serta sedikit banyak
ditentukan oleh hubungannya dengan luar negeri atau negara lain. Senada dengan
itu, pada abad yang sama rute perdagangan internasional pindah dari laut Tengah
ke samudra Atlantik dan yang pertama mendapat kesempatan untuk itu yakni Spanyol,
Belanda dan Inggris. Raja-raja penganut paham merkantilisme yakni Karel V
(Spanyol), Ratu Elizabet (Inggris), Prins Maurits (Wali negara Belanda) dan
disusul Louis XIV (Prancis). Tampillah mereka sebagai mercusuar pada masanya,
yang ditandai dengan mengalirnya kekayaan logam mulia ke Eropa.
Belanda yang pada saat itu terlibat
dalam kompetisi perdagangan internasional dituntut untuk tetap eksis, dan
ekspansi serta imperialisme merupakan syarat mutlak yang mereka harus tempuh.
Singkat cerita, ekspansi barat sejak abad ke-15 memunculkan Belanda dengan
VOC-nya sebagai pemegang hegemoni politik di Nusantara (Kartodirdjo, 1993).
Kehadiran VOC inilah yang telah menimbulkan berbagai problema, serta merusak
sendi-sendi hukum agraria di Indonesia (Parlindungan, 1993: 56).
Verenidge Oost Indisch Compagnie
(VOC) yang didirikan sejak 1602 sebagai sindikat dagang Timur Jauh, inilah yang
berfungsi sebagai wadah yang diberi wewenang untuk mengatur perekonomian dalam
persaingan di pasar internasional (Eropa). Berbagai kebijakan segera muncul
untuk mengatur roda perekonomian di tanah jajahan, sehingga sindikat dagang ini
seakan tampil sebagai “state in state” (negara dalam negara).
Pada awalnya mereka hanya tertarik
untuk berdagang, sehingga sasaran utamanya hanya terbatas pada kota-kota
pelabuhan (daerah pantai). Pada tahun 1660 Maluku berhasil dikuasai, sehingga
raja-raja diwajibkan membayar upeti. Namun demikian, permintaan pasar dunia
yang semakin meningkat, mendorong mereka untuk mengembangkan sektor pertanian
dan akhirnya daerah Jawa, Madura Sumatra Timurlah yang menjadi sasaran dan
perioritas untuk mengembangkan usaha perkebunan. Ricklefs dalam bukunya “A
History of Modern Indonesia (1981: 119)” menjelaskan bahwa pada tahun 1859,
terdapat sekitar 17.285 orang Eropa di Indonesia, dan pada tahun 1900 melonjak
menjadi 62.477 orang.
Data tersebut menunjukkan bahwa
dalam aktivitas perekonomian masa itu, peranan orang-orang Eropa di Hindia
Belanda (Indonesia) menjadi sangat penting. Bahkan keterlibatan dan intervensi
lebih jauh dalam aktivitas perekonomian (perdagangan), semakin nyata tatkala
sindikat perdagangan bernama VOC mendukungnya. Mengetahui peran penting VOC
dalam aktivitas perdagangan, sangat penting karena melalui peran itulah juga
menjadi dasar penetapan berbagai kebijakan politik dalam bidang agraria.
1. Masa
Kekuasaan VOC
Masuknya penjajah Belanda dengan
sistem perkebunan barunya berciri usaha pertanian besar dan kompleks, padat
modal, teknologi modern dan berorientasi komersil, membutuhkan jumlah tenaga
kerja yang relatif banyak. Melalui VOC-nya sebagai suatu sindikat dagang,
pemerintah Belanda menerapkan sistem monopoli dan pungutan paksa. Meningkatnya
permintaan akan bahan rempah-rempah di pasar internasional menyebabkan kolonial
Belanda mengadakan perluasan kebun dan tidak hanya sebatas rempah-rempah,
tetapi juga kopi di Priyangan dan perkebunan tebu di Jawa Tengah serta Jawa
Timur (Mubyarto, dkk., 1992).
Dalam menjalankan pemerintahan di
tanah jajahan, kolonial Belanda memberlakukan politik monopoli dan pungutan
paksa melalui dua cara. Pertama, Contingenten yakni pajak yang harus
dibayar secara innatura dengan hasil bumi. Kedua, Verplicte
leverentien yakni hasil bumi yang disetorkan sesuai dengan kontrak yang
ditetapkan oleh VOC (Mubyarto, Dkk., 1992: 30). Pola-pola pemilikan tanah dan penguasaan tenaga kerja pun tampak menjadi
bagian integral yang menyatu dalam pelaksanaan program-program VOC. Karena itu,
demi eksisnya pertahanan VOC di Indonesia, maka ia mulai membuat
prasarana yang diperlukan seperti berupaya membangun benteng-benteng, loji,
gudang penyimpanan hasil bumi, pabrik dan juga rumah tempat tinggal (Djuliati,
1991: 143).
Dalam merealisasi
keinginannya, untuk pertama kali VOC menuntut pengerahan tenaga rakyat dari
para Bupati. Tenaga rakyat ini digunakan untuk menebang dan mengumpulkan kayu
dari hutan jati. Blandbong adalah istilah yang dipergunakan untuk
menyebut kerja wajib umum ini. Kerja sebagai blandbong hanya mendapat
upah relatif kecil yang tidak sesuai dengan kerja yang harus mereka lakukan.
Kerja wajib umum selalu dituntut oleh penguasa pribumi terhadap para sikep.
Bahkan di beberapa wilayah, tuntutan terhadap tenaga kerja wajib tanam tidak
saja didasarkan pada pemilikan tanah tetapi juga bagi mereka yang hanya
memiliki rumah (numpang karang atau indung tempel) (Djuliati, 1991:
263). Kebijakan politik ini dalam versi Geertz (1963: 48-49) disebutnya
“menumpangkan”, karena alasan bahwa yang dilakukan oleh Belanda dari tahun 1619
hingga masuknya Jepang tahun 1942 adalah mencari produk pertanian di Indonesia
khususnya Jawa untuk dijual di pasaran dunia tanpa mengubah stuktur ekonomi
pribumi secara asasi.
Untuk memperoleh sebuah cinema-tografi
mengenai kebijakan kolonial di sektor agraria, berikut diuraikan kondisi
perkebunan pada beberapa wilayah di Indonesia: (1) di Maluku sumber cengkeh dan
pala dibatasi serta diberikan hukuman kolektif bagi penyelundup dan diharuskan
kerja rodi; (2) di daerah lada seperti Banten, Lampung dan Sumatra Tengah
diadakan perjanjian dengan raja di kota-kota pelabuhan untuk menetapkan kuota
berikut harga ditetapkan oleh VOC; (3) di tanah pegunungan Priangan dibuka
kebun-kebun kopi dengan menggunakan bangsawan sebagai kontraktor untuk
menyediakan buruh; (4) di daerah Jakarta dan sekitarnya termasuk daerah-daerah
pantai, terdapat hampir 100 buah tanah sewaan yang dikelola oleh pegawai
setempat (yang diangkat oleh VOC); (5) pemilik perkebunan hampir semua
perkebunan yang punya hak istimewa sebagai tuan besar atas penduduk desa; (6)
di Jawa Tengah yang baru setengah takluk oleh VOC, mengenakan pajak sederhana
berupa padi, kayu, katun, benang, kacang-kacangan, dan uang (Ahmadin, 2001: 23;
Mubyarto, dkk, 1992).
Perluasan areal perkebunan
beserta variasi tanamannya inilah yang menjadi awal pemicu lahirnya dualisme
ekonomi. Kalangan petani dengan paradigma konvensionalnya (ketentuan
kepemilikan tanah berdasarkan adat) di satu sisi, dengan pemerintah kolonial
yang modern (model Eropa). Kubu pertama (petani) dengan ciri ekonomi
subsistensinya tidak setuju dengan masuknya pihak luar (Belanda) dengan ciri
ekonomi berorientasi pasar (komersil). Kubu kedua yang berhaluan ekonomi
liberal memaksakan kehendak kepada rakyat untuk menyiapkan tanahnya guna
kepentingan penjajah.
Clifford Geertz dalam
bukunya “Involusi Pertanian” (1963), membagi pandangan mengenai pemilikan tanah
menjadi dua bagian. Wilayah Jawa dan Madura yang disebutnya sebagai “Indonesia
dalam”, beranggapan bahwa tanah adalah hak milik dan alat produksi, dan demi
tanah setiap orang bersedia mempertaruhnya nyawa untuk mempertahankan tanah
tersebut. Di sisi lain, beliau istilahkan dengan “Indonesia luar” (di luar Jawa
dan Madura) yakni kolonial beranggapan bahwa kepemilikan tanah tidak jelas dan
ditentukan oleh jenis tanaman tertentu. Dalam pengertian bahwa tanah adalah
milik umum, sehingga siapa yang mengolah (menanami) itulah pemiliknya.
Perbedaan persepsi
mengenai kepemilikan tanah inilah yang di kelak kemudian hari menjadi bom waktu
yang siap meledak, seperti aksi protes berupa pemberontakan Ratu Adil, Perang
Diponegoro, Pemberontakan Petani Banten, sampai kepada aksi protes dengan
organisasi modern seperti pemogokan di Keresidenan Madiun, Keresidenan
Yogyakarta, Keresidenan Pasuruan, dan lain-lain. Herman Willem Daendels
(1808-1811) menetapkan ber-bagai kebijakan sebagai berikut: (1) meletakkan
dasar pemerintahan dengan sistem barat, (2) pusat pemerintahan di Batavia, (3)
di pulau Jawa dibentuk 9 keresidenan, (4) membentuk pengadilan keliling, (5)
Kesultanan Banten dan Cirebon dijadikan daerah Gubernemen (Mubyarto, 1992).
Selanjutnya, pada masa
pemerintahan Thomas Stamford Rafles yang menjabat selaku Gubernur Jenderal di
Jawa dan sekitarnya pun menetapkan kebijakan berbeda yakni: (1) membagi Jawa
menjadi 18 keresidenan, (2) para bupati dijadikan pegawai negeri dan gaji
ditetapkan oleh pemerintah kolonial, (3) melarang pungutan paksa. Berbagai
kebijakan pemerintah kolonial tersebut, rupanya mengalami kegagalan dan tidak
mencapai target yang diharapkan. Penyebab kegagalan tersebut disebabkan oleh
terbatasnya pegawai yang cakap, perekonomian desa yang belum memungkinkan untuk
sistem penyewahan berupa uang, dan masih banyaknya kepemilikan tanah didasarkan
pada ketentuan hukum adat.
2. Masa Tanam Paksa
Kegagalan pemerintah
kolonial dengan sindikat dagang VOC-nya dan kebijakan pungutan paksa bagi hasil
pertanian, menstimulasi mereka untuk segera menemukan modus baru dalam upaya
menstabilkan roda perekonomian. Masa tanam paksa berlangsung selama kurun waktu
antara tahun 1830 hingga tahun 1870.
Sistem tanam paksa (cultuurstelsel)
oleh Belanda, yang menyebabkan perkebunan-perkebunan negara menghasilkan
bahan-bahan ekspor harus membuat Jawa menjadi sebuah jajahan yang
menguntungkan. Pada tahun 1870 perkebunan-perkebunan ini diambil oleh
penanam-penanam modal swasta Belanda (Onghokham dalam Sediono dan Gunawan
Wiradi, 1983: 4; Onghokham, 1979).
Kebijakan baru kolonial
yakni sistem tanam paksa yang memuat beberapa ketentuan: (1)
penduduk desa diharuskan menyediakan 1/5 tanahnya untuk ditanami, (2) tanah
yang disediakan untuk tanaman dagangan dibebaskan dari pajak tanah, (3)
tanaman dagangan diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda, (4) wajib tanam
dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk pengangkutan ke pabrik, (5)
penggarapan tanah diawasi langsung oleh kepala-kepala pribumi (Ahmadin, 2001:
32).
Tanaman yang dipaksakan
meliputi 2 kategori besar, yakni tanaman tahunan seperti tebu, nila dan
tembakau yang ditanami secara bergiliran dengan padi dan tanaman keras (berumur
panjang) yakni jenis tanaman yang tidak dapat digilirkan dengan padi (kopi, teh
dan lada). Ketidak teraturan penanaman, menyebabkan 2 jenis tanaman
mengembangkan dua gaya yang saling berpengaruh dan bertentangan dengan
komunitas biotis yang sudah mapan. Karena, itu kesuburan tanah tidak dapat
dipertahankan dan produksi hasil pertanian menurun.
Dalam sumber lain, juga
dijelaskan mengenai ketentuan kerja wajib yang diterapkan pada masa kolonial.
Adapun mengenai jenis-jenisnya dapat dibedakan dalam 4 kategori: (1) kerja
wajib umum (heerendiensten) meliputi kerja dalam pekerajaan umum,
pelayanan umum dan penjagaan keamanan; (2) kerja wajib pancen (pancendiensten)
khusus untuk melayani rumah tangga pejabat; (3) kerja wajib tanam (cultuurdiensten)
tediri dari berbagai jenis kerja dibidang penanaman, pengolahan dan
pengangkutan tanaman wajib; (4) kerja wajib desa (desadiensten,
gemeentediensten) meliputi jenis kerja untuk kepentingan kepala desa dan
bermacam-macam pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan warga desa dan
lingkungan desa pada umumnya (Djuliati, 1991: 98; Suhartono, 1991: 41).
Upaya penerapan
implementatif sistem tanam paksa oleh pemerintah kolonial, mereka menggunakan
ketiga (1,2,3) jenis kerja tersebut. Mengenai mekanisme dari kerja wajib yang
digalakkan tersebut, dapat dihubungkan dengan pola kepemilikan tanah. Sekadar
diketahui bahwa pada masa itu, tanah di seluruh wilayah kerajaan adalah
milik raja. Karena itu, dalam menjalankan pemerintahannya raja akan
mengangkat sentana dan narapraja (priyayi) untuk membantunya
(Suhartono, 1991 :27).
Imbalan atas tugas yang
dibebankan tersebut, yakni mereka akan memperoleh lungguh. Pada saat itu belum terdapat kejelasan pada pola pemilikan tanah. Ketentuan
luas lungguh masih didasarkan pada jumlah penduduk (cacah)
(Tjonronegoro, 1984 :5). Adapun pengelolaan lungguh diserahkan
sepenuhnya pada para sikep. Seorang sikep disamping mempunyai
kewajiban untuk membayar pajak juga harus menjalankan kerja wajib untuk
kerajaan dan kepentingan bersama di desanya (Djuliati, 1991 :98).
Keberadaaan seorang sikep
dalam sistem ekonomi ini, yakni merupakan tulang punggung
perekonomian desa. Karena itu, seorang bekel atau kepala sikep, akan
bertindak sebagai penghubung antar sikep dengan para priyayi. Tugas seorang bekel antara lain mengumpulkan penyerahan hasil lungguh
dan menarik pajak. Bekel menerima imbalan berupa hak mepergunakan
1/5 bagian dari sawah lungguh yang pada tahap selanjutnya menjadi sawah bengkok
(Breman, 1986).
Jenis kewajiban lainnnya disamping keharusan membayar pajak, yakni
kewajiban menjalankan krigaji. Dalam konteks ini diartikan sebagai
pekerjaan yang dilakukan bersama-sama untuk kepentingan raja (Djuliati,
1991: 105). Jenis kerja wajib
ini, dilakukan 5 (lima) hari sekali selama 5 (lima) jam. Dalam
menjalankan kerja wajib, mereka disuruh membuat atau memperbaiki jalan
dan jembatan, penjagaan rumah pembesar (kemit) yang dilakukan selama 2 minggu
sekali, pekerjaan rumah tangga (ayeran), kerja membawa dan mengangkut barang
dan orang (gladhag). Selain itu, ada pula gugur gunung yaitu pengerahan
tenaga dari semua laki-laki dewasa untuk mengatasi keadaan bahaya/musibah yang
diperkirakan dilakukan sebulan sekali. Jika upah harian diperhitungkan sebesar
25 sen maka wajib kerja selama tahun bernilai f 18,50 (Suhartono, 1991 :40).
Mengenai dampak sosial dan
ekonomi yang ditimbulkan oleh sistem tanam paksa 1830-1870, dikemukakan secara
bervariasi oleh para peneliti. Hal ini berangkat dari pemahaman dan sudut
pandang yang berbeda sehingga hasilnya pun bervariasi.
Pertama, Boeke (1980)
menjelaskan bahwa: “… apa yang dianggap sebagai suatu ciri khas yang intrinsik
dan tetap dari kehidupan ekonomi Indonesia (Timur) merupakan gejala yang pada
dasarnya bersifat spiritual. Kondisi ini tercipta secara historis; ia tidak
tumbuh dari hakekat jiwa timur yang tidak dapat berubah saat berpapasan dengan
semangat dinamisme barat, melainkan tumbuh dari wujud politik penjajahan yang
memberi tekanan secara politis pada pola pertanian tradisional Indonesia…”.
Kedua, Clifford Geertz
dalam buah penanya “Agricultural Involution: The Processes of Ecological
Change in Indonesia (1963: 97) menjelaskan bahwa : “… di bawah tekanan
jumlah penduduk yang bertambah dan sumber daya alam terbatas, masyarakat Jawa
tidak terbelah dua seperti yang banyak terjadi di negara-negara sedang berkembang
lainnya, yakni golongan tuan tanah besar dan golongan tertindas hampir seperti
budak. Melainkan mempertahankan homo-genitas sosial dan ekonominya yang cukup
tinggi, dengan cara membagikan kue ekonomi yang ada, sehingga lambat laun
jumlah yang mereka terima oleh masyarakat. Proses seperti ini oleh Geertz
disebut sebagai kemiskinan ditanggung bersama (shared poverty).
Masyarakat desa sebaiknya tidak dibagi dalam the have not dan the
haves, tetapi golongan kecukupan dan kekurangan.
Ketiga, Margo Liyon “Basis
of Conflict in Rural Java” (1970: 13) menjelaskan bahwa: “…adalah mungkin
bahwa rakyat umumnya mempunyai sedikit tempat (niche) dalam sistem itu dan
bahwa suatu keadaan kemiskinan yang ditanggung bersama itu memang umum,
namun kemiskinan dan kesulitan yang semakin meningkat pun menekankan
perbedaan-perbedaan yang relatif kecil dalam tingkat sosial ekonomi desa”.
Pada perkembangan
selanjutnya, penderitaan rakyat Indonesia diiringi oleh munculnya kecaman
berbagai pihak terutama bagi penganut faham liberal. Sistem monopoli dan kerja paksa dianggap tidak efektif tetapi
sebaliknya menyengsarakan rakyat. Karena itu, berdasarkan ketentuan yang
termaktub dalam konsep kapitalisme liberal yang berkembang di Eropa, para
petani diberi kebebasan menentukan usaha taninya dan pihak swasta diberi
kelonggaran untuk berkembang di Indonesia.
Tuntutan seperti
inilah yang kemudian menjadi isi dari Undang-Undang Agraria (Agrarishe Wet)
Tahun 1870, dengan berusaha melindungi hak-hak rakyat. Namun demikian, realitas
justru sebaliknya membawa pada kerugian masyarakat yang ditandai oleh penyalah
gunaan lahan. Berdasarkan catatan Geertz bahwa banyak di antara tanah-tanah
subur yang seharusnya ditanami padi, justru digunakan untuk perkebunan tebu
yang pada gilirannya tidak menghasilkan produksi secara optimal. Proses
peningkatan tanpa mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Belanda inilah yang
oleh Geertz dinamakan sebagai “Involusi Pertanian” dan Boeke menamakannya
sebagai “Ekonomi Statis”.
3. Masa Faham Liberal
Seiring dengan makin
meningkatnya kebutuhan akan hasil dari negeri jajahan, beberapa penganut aliran
liberal rupanya sudah mulai memikirkan modus baru yang ditopang oleh premis
bahwa sudah saatnya para petani memperoleh kebebasan menanam atau
menggunakan hasil tanamannya. Dalam pengertian lain bahwa, sekarang sudah tiba
masanya diadakan perubahan sistem cara penyerahan paksa.
Hal ini relevan dengan
cita-cita Raflles yang mencoba untuk menghapus penyerahan paksa hasil tanah,
penghapusan kerja rodi, mengurangi pengawasan yang dilakukan oleh Bupati, serta
langsung mengawasi penyewaan tanah-tanah, tidak dapat dijalankan dengan baik
bahkan mengalami kegagalan. Penggantian sistem penyerahan wajib menjadi pajak
tanah masih mengalami berbagai hambatan seperti masih kuatnya hukum adat, belum
terdapatnya pengukuran tanah dan belum dikenalnya ekonomi uang oleh penduduk
(Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991 :10).
Dalam perkembangan
selanjutnya, memasuki tahun 1870 dalam sejarah kolonial dikenal sebagai “zaman
liberal” yang ditandai oleh ditetapkannya Undang-undang Agraria yang berisi
larangan mengambil tanah penduduk dan membebaskan para pengusaha asing untuk
menyewa tanah di Indonesia. Peraturan ini dimaksudkan sebagai upaya preventif
bagi timbulnya kekuasaan merampas hak milik atas tanah secara sewenang-wenang
sekaligus merupakan awal lahirnya ide humaniter. Selain itu, ditetapkan pula
bahwa tanah yang dibiarkan menganggur tanpa ditanami atau tidak digarap secara
konstitusi adalah milik negara.
Ketentuan mengenai
pernyataan tanah negara ditetapkan dalam "Agrarisch Besluit” atau “Domein
Verklaring” sebagai berikut: “semua tanah yang tidak dapat dibuktikan oleh
seseorang adalah tanah negara berdasarkan pasal 21 ayat 2 IS (Indische
Staatsregeling). Peraturan ini berlaku untuk daerah gubernemen, sedangkan
daerah swapraja berlaku hukum adat. Daerah swapraja yang dimaksudkan adalah
Maluku, Sulawesi, dan Sunda Kecil. Status tanah negara dibedakan atas dua macam
berdasarkan “Domein Verklaring” yakni: (1) tanah negara bebas (vrij
staatsdomein) yaitu tanah yang tidak sama sekali dibebani hak seorang
menurut hukum Belanda, (2) Tanah negara yang tidak bebas (orvrij
staatsdomein) yaitu tanah yang dibebani suatu hak menurut hukum Belanda.
Peraturan mengenai
penggunaan tanah juga dikeluarkan oleh pemerintah kolonial yang tercantum
melalui Agrarisch Wet (pasal 21) Indische Staatregeling sebagai
berikut: (1) Gubernur Jenderal tidak diperbolehkan menjual tanah, (2) dalam
larangan tersebut tidak termasuk tanah-tanah kecil untuk perluasan kota dan
desa serta untuk mendirikan perusahaan-perusahaan, (3) Gubernur Jenderal
menyewa tanah menurut undang-undang (tidak termasuk tanah penduduk asli yang
telah digarap atau tempat ternak, (4) melalui peraturan tersebut dibuat tanah
hak paling lama 75 tahun, (5) Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai
penggunaan tanah melanggar hak-hak rakyat, (6) persewaan tanah rakyat asli
diatur dalam undang-undang.
Ditetapkannya
Undang-undang Agraria (1870) sebagai tuntutan gerakan liberal, mempunyai tujuan
sebagai berikut: (1) memberikan pengakuan kepada hak pemilik tanah oleh pribumi
sebagai “hak milik mutlak” (eigendom), sehingga memungkinkan penjualan
dan persewaan, (2) asas domein yang men-dasari undang-undang agraria
itu, peng-usaha swasta diberi kesempatan untuk dapat menyewa tanah dalam jangka
panjang dan murah. Karena itu, ber-dasarkan perjalanan sejarahnya, berbagai
kebijakan yang termaktub dalam undang-undang agraria (1870) pada tataran
praktisnya hanya merupakan peraturan untuk melayani kepentingan pengusaha
besar.
Mengenai kondisi tanah
selama 3/4 abad, digambarkan Hardjosudarmono (1970) sebagai berikut: (1) dari
segi pemilikan tanah, dapat digolongkan: tuan tanah (pemilik tanah besar),
pemilik tanah sedang, pemilik tanah kecil, dan golongan petani tak bertanah,
(2) dari keadaan itu penggunaan tanahnya didapatkan: petani besar (tuan tanah
yang mengerjakan tanahnya sendiri yang luas atau melepaskan pada orang lain
untuk disewa tau membiarkan kosong), pemilik sawah sedang yang menjadi petani
sedang, pemilik tanah kecil, petani yang tak punya sawah.
Meningkatnya
perkebunan parti-kulir pada masa pemerintahan kolonial Belanda itu, melahirkan
berbagai macam kebijakan. Ada 3 cara yang ditempuh oleh para pengusaha
perkebunan untuk memperoleh tanah, yaitu: (1) dibebaskan dari segala biaya
untuk keperluan pengukuran, biaya administrasi dan sebagainya, (2) diberikan 3
macam pinjaman tanah, perumahan dari perusahaan. Pinjaman untuk membayar tanah
harga tanah besarnya 3/4 dari taksiran harga tanah, (3) diberikan bimbingan di
bidang teknik, manajemen perusahaan, pemasaran hasil dan sebagainya oleh para
ahli yang tergabung dalam komisi “kolonisasi”.
Pada bulan Agustus
1899, Conrad Theodor van Deventer menulis artikel “Een Eereschlud” (Hutang
Budi) dalam majalah De Gids yang isinya menuntut agar kolonial Belanda
memberikan ganti rugi terhadap kekayaan alam yang telah dieksploitasi sejak
sistem tanam paksa (1867). Negeri jajahan menurutnya telah memperoleh
keuntungan kira-kira sebesar 200 gulden. Pengakuan jujur atas hal ini merupakan
suatu kehormatan, karena itu utang kehormatan hanya dapat dibayar dengan cara
memperbaiki dan mem-perhatikan nasib negeri jajahan. Krisis ekonomi sejak 1885
menyebabkan kemiskinan dan penderitaan rakyat, karena itu sudah tiba saatnya
untuk mem-bayar hutang budi tersebut. Menurut van Deventer bahwa pendidikan dan
pem-bangunan ekonomi merupakan conditio sine qua non untuk peningkatan
kesejahteraan rakyat, karena melalui pendidikan Indonesia akan mampu mengurus
kepentingan dirinya sendiri (Sulityo, 1995: 36).
Tuntutan ini rupanya
mendapat respon positif dari berbagai pihak, sehingga pada gilirannya
melahirkan kebijakan baru berupa pengadaan fasilitas umum seperti irigasi, edukasi
(lembaga pendidikan), perumahan, rumah sakit (poliklinik), dan sebagainya.
Kebijakan baru kolonial Belanda ini, dalam sejarah penjajahan Indonesia
dikenal sebagai “politik etis”. Dalam perkembangan selajutnya, realitas
menunjukkan bahwa politik etis ini justru dinikmati oleh pihak-pihak tertentu
saja seperti fasilitas perumahan oleh para pengusaha per-kebunan. Sebaliknya,
penduduk desa tetap hidup di bawah garis kemiskinan dan kelaparan. Timbulnya image
negatif di kalangan masyarakat mengenai penyalahgunaan Undang-undang Agraria,
pada gilirannya melahirkan aksi pemogokan pada berbagai pabrik gula di Jawa.
Aksi pemogokan mencapai titik kulminasinya pada tahun 1920.
Bukan hanya di negeri
jajahan Belanda (Indonesia), pada tahun 1878-1895 pun terjadi aksi pemogokan di
sebuah provinsi bernama Friesland dan sekitarnya di negeri Belanda
bagian utara yang mayoritas kristen. Aksi ini oleh sejarawan dianggapnya
sebagai pengaruh Marxisme yang berkembang di Eropa seperti Inggris, Jerman dan
Perancis. Faham marxisme muncul sebagai reaksi atas praktek-praktek ekonomi
liberal, karena kapitalisme dan ekonomi pasar dianggap menciptakan perbedaan
ekstrem yakni kekayaan untuk kapitalis dan kemiskinan untuk buruh.
Pada bulan September
1901 per-juangan golongan sosialis rupanya berhasil yang ditandai oleh
munculnya pidato Ratu Belanda Wilhelm tentang “kewajiban luhur dan tanggung
jawab moral untuk rakyat Hindia Belanda”. Seruan ini paralel dengan konsep
Marxis bahwa sebagian keuntungan kapitalis adalah hak buruh, demikian pula kaum
buruh yang telah banyak terlibat dalam proses produksi seharusnya memiliki hak
yang lebih banyak. Munculnya ber-bagai pemogokan buruh sebagai gerakan
sosialis, disebabkan oleh beberapa faktor yang berhubungan dengan kondisi
sosial-ekonomi pada saat itu.
Pertama, Perang
dunia I (1914-1918) meski tidak meluas di seluruh Asia, namun akibatnya terasa
di seluruh dunia karena faktor-faktor produksi seperti barang, tenaga kerja dan
modal banyak digunakan untuk kepentingan perang. Akibatnya, barang produksi
untuk kepentingan sehari-hari berkurang sehingga terjadilah depresi ekonomi
yang ditandai oleh mahalnya tekstil dan obat-obatan. Bila penawaran semakin
ber-kembang dibandingkan jumlah per-mintaan, dalam teori ekonomi harga akan
mahal. Karena itu, para petani dan pedagang yang hendak mendapatkan produksi
dari Eropa terpaksa menaikkan harga barangnya. Kondisi ini pada gilirannya
melahirkan inflasi yang semakin lama semakin tinggi.
Kedua, makin
banyaknya usaha-usaha Barat di bidang perkebunan menambah berat beban petani
pemilik tanah. Fenomena ini juga diiringi oleh berakhirnya masa kontrak jangka
panjang sejak 1891 (selama 30 tahun) pada tahun 1921 dan kontrak (25 tahun)
sejak 1870 pada tahun 1920. Menjelang berakhirnya masa kontrak inilah, terjadi
berbagai tuntutan hak kepada pemerintah yang melindungi para pengusaha pabrik
atas perlakuan tidak adil dalam perjanjian sewa-menyewa tanah.
Ketiga, depresi
ekonomi juga diakibatkan oleh curah hujan yang tidak teratur sehingga tidak
dapat memenuhi kebutuhan irigasi. Meskipun Tahun 1916-1917 curah hujan cukup,
namun hujan terlambat sehingga praktis petani tidak dapat menanami tanahnya.
Setelah menerima kembali tanahnya pada bulan Mei dari pabrik gula, petani di
Yogyakarta tidak dapat menggarap tanah-nya karena 6 bulan kemudian baru turun
hujan. Meski tahun 1917-1918 terjadi hujan sepanjang tahun, namun debit airnya
sangat sedikit sehingga menimbul-kan konflik antara petani dan pemilik pabrik
dalam hal pembagian air.
Depresi ekonomi
tersebut menyebabkan penderitaan rakyat semakin meningkat yang ditandai oleh
terjadinya kelaparan di mana-mana yang diiringi oleh berjangkitnya aneka
penyakit. Melalui sebuah Jurnal “Sri Mataram” sebagaimana dikutip oleh
Sulityo (1995) dijelaskan mengenai laporan dokter di Jawa bahwa pada tahun 1919
sebanyak 1.197.000 jiwa meninggal karena terserang penyakit beri-beri, TBC dan
influensa. Reaksi dari berbagai tempat pun kemudian muncul seperti pemogokan
Keresidenan Madiun, Pasuruan, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan
beberapa tempat lainnya. Terjadilah pemogokan umum pada seluruh pabrik yang
berjumlah 72 buah di Jawa, dan barulah kemudian berangsur-angsur surut setelah
kondisi sosial ekonomi mulai sinkronis.
C. Kebijakan-kebijakan pada Masa Jepang.
Seperti kata pepatah lama “keluar
dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya”, penderitaan rakyat akibat
penyalahgunaan tanah pertanian oleh pemerintah Jepang kian menjadi-jadi.
Sebagaimana telah dijelaskan pada permulaan tulisan ini, bahwa kondisi politik
sangat menentukan bagi keadaan tanah. Penjajah Jepang dengan kepentingan
berbeda, memperioritaskan tanaman pada komoditi yang berbeda pula. Jika
penjajah Belanda memusatkan pada penanaman tembakau, rempah-rempah, kopi, tebu
karena permintaan pasar, Jepang sebagai penguasa baru dengan kepentingan baru
pula memprioritaskan pada penanaman bahan pangan dan tanaman jarak. Hal ini dimaksudkan untuk keperluan bahan makanan saat perang melawan
sekutu.
Berdasarkan keterangan Tauchid dalam Mubyarto (1992), bahwa
petani harus melipat gandakan hasil bumi dan menyerahkan 20% hasil panennya
kepada pemerintah Jepang untuk keperluan bekal perang. Namun dalam prakteknya,
rakyat bukannya dituntut bekerja giat untuk setoran hasil pertanian, tetapi
dituntut untuk membantu Jepang dalam kerja paksa (romusha) dan usaha
pembangunan perlengkapan perang. Dalam usahanya menambah hasil bumi tanah
pertanian rakyat diperluas berupa pembongkaran hutan dan tanah-tanah onderneming
untuk keperluan peningkatan hasil pangan. Kondisi ini membawa bagi rusaknya
tanah dan menyebabkan menurunnya produksi perkebunan.
Melalui sumber yang sama dijelaskan bahwa tanah
partikulir pada masa Jepang tidak ada yang dibeli kembali. Badan khusus segera
dibentuk untuk mengatur dan menentukan status tanah peninggalan penjajah
Belanda. Kantor yang menangani
masalah tanah dinama-kan “Syiichi Kanri Kosha” (Kantor Urusan Tanah
Partikulir). Dalam menjalankan fungsinya, kantor ini seolah-olah berfungsi
mewakili kekuasaan pemerintah sehingga tampak tanah partikulir dikuasai oleh
pemerintah, sedangkan tuan tanah tidak berkuasa lagi (Mubyarto, 1992: 50)
Walaupun demikian, dapat dipastikan bahwa kebijakan
penjajah Jepang seperti halnya Belanda bermuara pada upaya menarik keuntungan
sepihak. Kantor yang dibentuknya sebagai sarana untuk mengatur perekonomian,
pada dasarnya merupakan topeng siluman untuk melindungi wajah sebenarnya dari
niat jahat mereka. Hal ini dapat dibandingkan dengan kantor dagang VOC milik Belanda,
Undang-undang Agraria (Agrariche Wet) Tahun 1870 yang dijanjikan akan
memperbaiki kondisi ekonomi petani, justru melahirkan keuntungan sepihak
(penjajah).
Dalam sumber lain dijelaskan bahwa pada bulan Mei 1943,
Kolonel Namura (Panglima Militer Jepang di Sumatera Timur), pernah menyerukan
kepada sekelompok kecil administratur ordeneming terkemuka supaya memberi-kan
laporan mengenai berbagai industri mereka. Hal ini dimaksudkan sebagai bahan
untuk merencanakan manajemen perkebunan, selama masa pendudukan Jepang di
Indonesia. Adapun tanggung jawab ini dilimpahkan kepada Noyen Renggo Kai
yakni sebuah badan yang didirikan pada pertengahan tahun 1942. Badan ini
mempunyai kantor besar di Medan dengan suatu staf kecil Jepang yang dibantu
oleh penasihat-penasihat Barat (Pelzer, 1977: 152).
Dalam perkembangan selanjutnya, pada penghujung tahun
1942 Noyen Renggo Kai digantikan oleh suatu badan administratif baru
yakni Shonan Gomu Kumiai dengan kantor besarnya di Singapura. Perubahan
fundamental pun terjadi, yakni para penghubung Barat lalu digantikan oleh suatu
group manajer Jepang yang masing-masing diberi tanggung jawab untuk beberapa
per-kebunan (Pelzer, 1977: 153).
Meskipun demikian, perubahan mendasar terkait dengan
kondisi tanah pertanian kemudian menjadi ciri masa pendudukan Jepang. Banyak di
antara tanah subur yang mendapat perawatan intensif pada masa pemerintah
kolonial Belanda menjadi rusak. Betapa tidak, pada akhir tahun 1943 beberapa
kebun digunakan sebagai lahan untuk menanam jenis tanaman padi, jagung,
kacang-kacangan, dan jenis tanaman industri yang diperlukan Jepang (Ahmadin,
2001: 35). Dalam catatan Pelzer (1977) juga dikemukakan bahwa:
Selama orang-orang Eropa tetap tinggal
diperkebunan-perkebunan itu meskipun mereka sedikit, selalu dapat ditemukan
cara-cara untuk memelihara setidak-tidaknya beberapa bidang tanah yang paling
terpilih. Tetapi setelah orang-orang terakhir ditawan pada tahun 1943, tanah
tembakau itu kembali digunakan untuk penanaman sepanjang tahun, bukan hanya
untukpadi, jagung dan tanaman pangan lain melainkan juga untuk serat,
kacang-kacangan, jarak dan tanaman-tanaman industri lainnya yang berguna bagi
Jepang. Ini tentu saja menghancurkan sistem penggiliran penanaman yang
sebelumnya telah dirawat dengan penuh ketelatenan, dan juga menyebabkan
kerusakan tanah yang berat pada semua perkebunan terutama perkebunan-perkebunan
di tanah rencah dekat pantai.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa perubahan fundamental
yang terjadi di bidang agraria pada masa pendudukan Jepang, yakni rusaknya
beberapa jenis tanah perkebunan yang sebelumnya tergolong subur. Hal ini tentu
saja disebabkan oleh kecen-derungan penggunaan jenis tanaman pada lahan
tertentu tanpa mereka mem-pertimbangkan aspek yang berhubungan dengan
pemeliharaan kesuburan.
Suatu kenyataan historis yang menarik untuk dicermati,
yakni perbedaan mendasar dari kedua penguasa yakni Belanda dan Jepang dalam hal
kebijakan di bidang agraria. Dalam pengertian bahwa kondisi agraria dapat
berubah secara signifikan, tidak hanya disebabkan oleh sebuah gejala alam atau natural
factors. Akan tetapi, peran penguasa dengan jenis kebijakan yang diterapkan
dapat menentukan seperti apa kondisi agraria pada lingkungan atau wilayah
tertentu.
D. Kebijakan-kebijakan pada
Masa RI
Jatuhnya pemerintah Soeharto oleh gerakan reformasi,
telah menjadi tonggak untuk melakukan tinjauan kritis (review) terhadap
peraturan (agraria) yang dianggap sudah menyimpang karena dipergunakan sebagai
instrumen kekuasaan. Tuntutan untuk melakukan reforma agraria di Indonesia
bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR RI Nomor IX tahun 2001 tentang Pembaharuan
agraria dan pengelolaan SDA. Dalam ketetapan MPR tersebut dapat dijumpai arah
kebijakan sebagai berikut:
1. Melakukan pengkajian ulang
terhadap berbagai pengaturan perundangan yang berkaitan dengan agraria dalam
rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan
perundangan yang didasarkan pada prinsip pembaharuan agraria dan pengelolaan
SDA.
2. Melakukan penataan kembali
penguasaan, pemilihan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landerform) yang
berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.
3. Menyelenggarakan pendataan
pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam
rangka pelaksanaan landerform.
4. Menyelesaikan
konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama
ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna
menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip
Pembaharuan agraria dan pengelolaan SDA.
5. Memperkuat kelembagaan dan
kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaharuan agraria dan
menyelesaikan konflik-konflik SDA.
6. Mengupayakan dengan
sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaharuan agraria dan
penyelesaian konflik-konflik SDA yang terjadi.
Ketetapan MPR RI tersebut di atas memberikan arti penting
bagi peraturan keagrarian di Indonesia pada masa mendatang, mengingat ketentuan
tersebut kedudukan sebagai:
1. Arah kebijakan strategis
dalam memberikan pengaturan dibidang agraria sehingga akan terjadi perubahan
terhadap visi dan misi yang terkandung dalam ketentuan agraria yang ada selama
ini. Dengan perkataan lain, melalui ketetapan MPR ini telah lahir politik hukum
agraria yang lebih manusiawi.
2. Dasar validitas atau
kebasahan bagi peraturan hukum agraria di Indonesia artinya ketentuan hukum
agraria yang ada harus bersumber dan sesuai dengan substansi yang terkandung
dalam Tap MPR tersebut.
Tentu dengan lahirnya ketetapan MPR RI tersebut, bukan
berarti kegiatan reforma agraria telah mencapai tujuan akhirnya. Lahirnya
ketetapan tersebut memberikan dasar bagi semua pihak untuk terus melakukan
usahanya dalam mewujudkan lahirnya peraturan-peraturan baru untuk menggantikan
peraturan yang ada sebelumnya. Ini merupakan pekerjaan besar yang memerlukan
tanggung jawab bersama.
BAB III
SIMPULAN
Masalah agraria di Indonesia sesungguhnya tidak bermula sejak masa
kolonial, akan tetapi jauh sebelum itu telah banyak persoalan terkait dengan
sektor yang maha vital dalam kehidupan manusia ini. Tulisan ini menitikberatkan
kajian pada masa kolonial dimaksudkan untuk memberi gambaran betapa sebuah
kekuasaan politik sangat dominan pengaruhnya terhadap dunia agraris (sektor
pertanian). Akibatnya, kekuasaan Belanda dan Jepang telah menjadikan rakyat dan
tanah Indonesia sebagai tumbal ambisi kekuasaan.
Meskipun demikian, di
balik porak-porandanya sendi kehidupan ekonomi rakyat karena ulah kaum kolonial,
di sisi lain justru membawa efek positif. Sebut saja kedatangan kaum kolonialis
yang diiringi oleh kehadiran para ahli pertanian, kemudian dianggap sebagai
dasar dan cikal bakal lahirnya modernisasi pertanian (perkebunan) di Indonesia.
[1] Winahyu
Herwiningsih, menutip dari bukunya Rianto Bachiadi,et, al, eds, Perubahan
politik dan Agenda Perbaharuan Agararia Diindonesia, FE UI, Jakarta, 1997,
Hlm. 28-31
[2]
Winahyu
Herwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total media dan FH
UII,Yogyakarta,2009,Hlm 1
[3]
Op.Cit, Hlm. 135
[4]
J.S.
Furnivall, Netherlands India, A Study of Rural Economy (London:
Cambridge University Press, 1939), Hlm. 78-79. Dikuip juga oleh Mochammad
Tauchid, Masalah Agraria II (Jakarta : Penerbit Tjakrawala,
1952), Hlm. 63.
[8]
Boedi Harsono, Hukum
agraria Indonesia, Jilid I, cetakan ke-12, Djambatan, Jakarta, 2008. Hlm.
33
[11] AP.Parlindungan, Benerapa masala
dalam UUPA(Undang-undang pokok agraria), Mandar Maju, bandung 1993,Hlm. 43
[12]
Winahyu
Herwiningsih, Hak Menguasai. Dikutip dari buku tuntunan bagi pejabat
pembuat akta tanah , yayasan budaya bina sejahtera, jakarta 1981.Hlm 673.
[19]
Gouw Giok
Sioung(sudargo guatama), hukum antar golongan suatu pengantar, penerbit
universitas,jakarta,1957
Komentar
Posting Komentar