Gagasan kebangsaan Gus Dur (SPMDI II)

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Negara Indoneisa adalah Negara yang terdiri dari beraneka ragam masyarakat, suku bangsa, etnis, ras dan Agama. Dengan semakin beraneka ragamnya masyarakat dan budaya, sudah tentu akan membuat setiap individu akan memiliki keinginan yang berbeda-beda, latar belakang yang berbeda, struktur social dan karakter juga pandangan dalam berpikir yang berbeda pula. Hal ini sebenarnya bisa menimbulkan konflik dan perpecahan yang hanya berlandaskan emosi diantara individu masyarakat, apalagi penduduk Indonesia itu mudah terpengaruh tanpa mau menganalisis dulu dengan yang terjadi. Untuk itu lah sangat diperlukan sosok pemimpin yang bisa mengatasi masalah seperti ini, yang memiliki semangat pluralism dan menghargai perbedaan.
Dari sederet nama pemimpin yang terkenal dengan gagasan-gagasan yang luar biasa tersebut, ada nama Abdurrahman Wahid atau yang biasa kita panggil Gus Dur. Gus Dur bukan pemimpin biasa. Gus Dur memiliki keunikan yang membedakannya dengan pemimin-pemimpin yang lain.
Gus Dur adalah manusia multidimensional[1]. Gus Dur tidak hanya melahap pemikiran al-Ghazali sampai Ibn Rushd. Gus Dur juga mempunyai semangat tinggi untuk berkawan dengan pemikiran orang-orang seperti al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Bajah, dan Ibn Thufail, hingga para filosof Yunani seperti Aristoteles dan Plato. Ia pun berkelana cukup jauh membaca karya-karya Karl Marx dan Fredrich Engels, juga Immanuel Kant dan Bonaventura.[2]
Sudah terlampau banyak penelitian tentang Gus Dur dalam berbagai perspektif, mulai dari segi ilmiah hingga khazanah gaib. Puluhan atau bahkan ratusan buku yang mengulas rinci noktah-noktah pemikiran Gus Dur telah diterbitkan, baik tatkala Gus Dur masih hidup maupun ketika sudah meninggal dunia.
Dari berbagai gagasan dan pemikiran Gus Dur yang dianggap selalu kontroversial dikalangan masyarakat, ada satu yang perlu kita selalu dengungkan untuk mempertajam cinta kasih terhadap negara. Yaitu, prinsip Gus Dur yang berkaitan dengan relasi antara Islam dan kebangsaan. Dalam pandangan Gus Dur, keduanya tidak harus didudukkan di dalam posisi yang saling bertentangan.
B. RUMUSAN MASALAH
            Dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penulisan makalah ini, yakni sbb:
1.      Bagaimana definisi dari gagasan kebangsaan Gus Dur menurut para ahli?
2.      Apa saja gagasan kebangsaan dalam perspektif Gus Dur?
3.      Bagaimana konsep Pluralisme dari Gus Dur?

C. TUJUAN PENULISAN
            Dilihat dari rumusan masalah diatas, maka dapat ditentukan tujuan penulisan makalah ini yakni, sbb:
1.      Mengetahui definisi dari gagasan kebangsaan Gus Dur menurut para ahli?
2.      Mengetahui apa saja gagasan kebangsaan dalam perspektif Gus Dur?
3.      Mengetahui Bagaimana konsep Pluralisme dari Gus Dur?


 BAB II
PEMBAHASAN
A. KAJIAN TEORITIS
Secara teoritis  pembahasan mengenai pengertian-pengertian Gagasan kebangsaan menurut para ahli adalah sebagai berikut:
Menurut Suyono (2004) gagasan adalah sesuatu hasil pemikiran, usulan, keinginan, harapan yang akan disampaikan seorang pemikir yang dilengkapi dengan fakta, data, informasi yang orisinil.[3]
Menurut widyamartaya (1990) gagasan adalah kesan dalam dunia batin seseorang yang hendak disampaikan kepada orang lain. Baik berupa pengetahuan, pengamatan keinginan, perasaan, dan sebagainya.[4]
Menurut Fahri Hamzah (2001) gagasan adalah penyampaian pemikiran berupa data bukti, hasil penalaran, dan pendapat seseorang yang bertujuan untuk memecahkan suatu masalah. Yang mana gagasan menyebabkan timbulnya konsep, yang merupakan dasar bagi segala macam pengetahuan.[5]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karya WJS. Poerwadarminta (2000) gagasan adalah hasil pemikiran, ide, rancangan yang tersusun dalam pikiran. Artinya sama dengan cita-cita.[6]
Sedangkan untuk definisi kebangsaan menurut para ahli adalah, sebagai berikut:
Kebangsaan berasal dari kata “bangsa” yang menurut KBBI, berarti kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.[7]
Menurut Suhadi (2006) kebangsaan merupakan cara pandang yang mengandung kemampuan seseorang atau kelompok orang untuk memahami keberadaan jati diri sebagai suatu bangsa dalam memandang dirinya dan bertindak sesuai falsafah hidup bangsa dalam lingkungan internal dan lingkungan eksternal.[8]
            Dari berbagai definisi mengenai gagasan kebangsaan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa gagasan kebangsaan jika dihubungkan dengan perspektif Gus Dur adalah konsepsi cara pandang hasil dari pemikiran seorang Gus Dur yang orisinil mengenai (yang bertalian dengan) bangsa, yang bertujuan untuk memahami keberadaan jati diri sebagi suatu bangsa dalam memandang dirinya dan bertindak sesuai dengan falsafah bangsa yang dianut.

B. GAGASAN KEBANGSAAN DALAM PERSPEKTIF GUS DUR
Dari berbagai gagasan dan pemikiran Gus Dur, ada satu yang perlu kita selalu dengungkan untuk mempertajam cinta kasih terhadap negara. Yaitu, prinsip Gus Dur yang berkaitan dengan relasi antara Islam dan kebangsaan. Dalam pandangan Gus Dur, keduanya tidak harus didudukkan di dalam posisi yang saling bertentangan.
1. Komitmen Humanisme
Kini, di tengah masalah kebangsaan di Indonesia yang masih menghadapi tantangan yang tidak ringan, perlu kiranya kita memahami akar pemikiran Gus Dur. Memahami akar pemikiran Gus Dur adalah bentuk antisipasi bersama untuk menyelamatkan Pancasila.
Akar pemikiran politik KH Abdurrahman Wahid sesungguhnya didasarkan pada komitmen kemanusiaan (humanism-insaniyah) dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Gus Dur, komit men kemanusiaan itu dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan tuntutan persoalan utama kiprah politik umat Islam dalam masyarakat modern dan pluralistik Indonesia.
Komitmen kemanusiaan itu pada intinya adalah menghargai sikap toleransi dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap keharmonisan sosial. Menurut Gus Dur, dua elemen asasi, yaitu humanisme dan toleransi dapat menjadi dasar ideal modus keberadaan politik komunitas Islam di Indonesia.[9]
Modus politik yang secara konsisten diperjuangkan oleh Gus Dur adalah komitmen terhadap sebuah tatanan politik nasional yang tidak sektarian dan sekaligus mengangkat universalitas kemanusiaan. Platform kehidupan umat Islam seharusnya diletakkan pada tiga prinsip persaudaraan, yaitu ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariyah, sebagaimana prinsip NU. Karena itu, di dalam politik Gus Dur selalu menghindari formalitas Islam dalam negara.[10]
Akar pemikiran politik Abdurrahman Wahid yang lainnya adalah penguatan civil society. Ia berpendapat, paradigma baru yang harus dikembangkan oleh umat Islam adalah mengambil titik masuk strategis, yaitu pembentukan civil society (pemberdayaan rakyat bawah). Pengembangan orientasi civil society ini sejalan dengan NU setelah kembali ke Khittah 1926.[11]
Civil society sejalan dengan NU dikarenakan; pertama, NU tak lagi hanya membatasi diri pada upaya pemecahan masalah-masalah yang menyangkut kepentingan warga Nahdliyin, tetapi diperluas hingga menyangkut kepentingan bangsa. Kedua, NU mengakui bahwa wilayah esensi bagi sebuah civil society yang mandiri kini menjadi komitmen utama perjuangannya. Ketiga, NU pascaKhittah berniat menitikberatkan geraknya pada level masyarakat untuk memperkuat kemandirian dan kepercayaan dirinya. Berlatar dari pemikiran inilah maka muncul gagasan mengenai pembentukan parpol yang berasaskan NU, seperti PKB, Partai NU,dsb.[12]
2. Multikulturalisme
Paham ini di rancang bagi pengembangan kepribadian orang-orang Islam, yakni dengan cara memperluas pengetahuan mereka. Artinya, mereka harus mampu bersaing dengan dunia luar dan tidak hanya fokus pada literatur universal mereka. Mereka harus membuka diri dengan seluruh ideologi-ideologi pemikiran barat dengan tujuan memberdayakan umat Islam, agar dapat lebih mudah untuk mengakses segala macam pengetahuan dan informasi.
Setidaknya ada lima gagasan besar pemikiran yang diperjuangkan Gus Dur sepanjang hidunya melalui Multikulturalisme ini dilihat dari berbagai aktifitas sosial, politik dan keagamaan, tutur Muhaimin.[13] Pertama, dalam keyakinan Gus Dur sesuai dengan khazanah keyakinan NU, syariat Islam diturunkan kepada manusia tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk melindungi kepentingan dasar manusia itu sendiri, mewujudkan perdamaian, kemaslahatan dan kemajuan di antara mereka. Untuk tujuan itu para ulama di masa lampau merumuskan sebuah konsep yang dikenal dengan maqashid as-syariah (tujuan-tujuan syariah).
Dalam salah satu karya monumentalnya, Al-Mustasyfa ( jilid I, hal. 287), Al-Ghazali menyebutkan tujuan syariat diturunkan kepada manusia adalah untuk melindungi lima hal, yaitu: (1) agama dan keyakinan, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan dan (5) harta atau hak milik pribadi. Dengan demikian, Islam dalam pandangan Gus Dur sangat melindungi kebebasan beragama, berkeyakinan, berprofesi dan berfikir. Islam sangat melindungi hak-hak asasi manusia (HAM).[14]
Sesuai dengan tujuan syariat diatas, Gus Dur sangat mengedepankan toleransi beragama dan menjunjung tinggi komunikasi dengan kelompok agama yang berbeda. Bagi Gus Dur, kebesaran Islam dimasa lampau bisa dimungkinkan karena peradaban Islam mampu menyerap nilai-nilai dari peradaban agama lain. 
Kedua, Gus Dur adalah tokoh agama yang sangat anti-kekerasan. Bagi Gus Dur, kekerasan bukan hanya bertentangan secara diametral dengan ajaran Islam, tetapi juga merugikan Islam itu sendiri, Gus Dur selalu mengedepankan dialog, baik antar-umat beragama maupun antar-agama. Menurut Gus Dur, pertentangan pendapat tidak semuanya harus diselesaikan dengan melarang atau menyesatkan kelompok lain. Toleransi justru bisa lebih membawa hasil. Bagi Gus Dur, hak hidup dan menjalankan ajaran agama yang diyakini merupakan hak dasar yang di jamin sepenuhnya oleh syariat.[15]
Ketiga, demokrasi adalah bagian dari manifestasi tujuan syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam pandangan Gus Dur, dalam dunia modern demokrasilah yang dapat mempersatukan keberagaman arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa demokrasi dapat merubah ketercerai-beraian arah masing-masing kelompok menjadi berputar bersama-sama menuju kedewasaan, kemajuan dan integritas bangsa. Demokrasi menjadi sedemikian penting dalam sebuah negara yang pluralistik dan multikultural ini, karena ternyata perikehidupan kebangsaan yang utuh hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana demokrasi.[16]
Keempat, Gus Dur adalah penjaga tradisi, di mana menurut pandangannya, agama dan budaya beresifat saling melengkapi. Menurutnya, agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya mempunyai wilayah tumpang tindih. Manusia tidak bisa beragam tanpa budaya, karena kebudayaan merupakan kretifitas manusia yang bisa menjadi salah satu bentuk ekspresi keberagaman. Tetapi tidak dapat disimpulkan bahwa agama adalah kebudayaan. Di antara keduanya terjadi tumpang tindih dan saling mengisi namun tetap memiliki beberapa perbedaan.[17]
Agama bersumber pada wahyu dan memiliki norma-norma sendiri. Norma-norma bersifat normatif, karenanya ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah kreativitas manusia, karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Dengan kata lain perspektif demikian menempatkan agama sesuai dengan fungsinya sebagai wahana pengayom tradisi bangsa dan pada saat yang sama agama menjadikan kehidupan berbangsa sebagai wahana pematangan dirinya.[18]
Kelima, menurut Gus Dur, Islam ebih efektif dan membumi jika berfungsi sebagai etika sosial. Hukum agama, kata Gus Dur, tidak akan kehilangan kebesarannya dengan difungsikan sebagai etika masyarakat. Bahkan kebesarannya akan memancar karena ia mampu mengembangkan dirinya tanpa dukungan massif dari institusi negeri. Bagi Gus Dur, beragama Islam artinya berserah diri sepenuhnya kepada Allah, adalah tujuan hidup yang luhur. Karenanya haruslah dihindarkan agar Islam tidak diletakkan di bawah wewenang negara, melainkan menjadi kesadaran kuat dari warga masyarakat.[19]
Yang juga khas dari Gus Dur adalah adalah pemikirannya yang bersumber dari nilai-nilai tradisional dalam pandangan hidup pesantren yang di perkaya dengan nilai-nilai dari agama, budaya dan peradaban lain. Keterbukaan sikap dan pemikiran Gus Dur dengan sendirinya merupakan bawaan dari keterbukaan pandangan hidup pesantren dan masyarakat darimana ia berasal.
3. Pancasila dan Islam
Kajian ini mendapat perhatian dikarenakan masih banyak pemikir Islam dan literatur Islam yang mendikotomikan negara Pancasila dan negara Islam. Ketegangan antara umat Islam dan pemerintah dapat dilihat ketika kebijakan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi sosial politik dan sosial keagamaan.
Mulai saat itu kajian tentang Pancasila dalam perspektif Islam berlangsung sangat intens dan baru mulai reda ketika NU, yang memaknainya atas dasar-dasar pemikiran keagamaan, menerima Pancasila sebagai asas organisasi pada Muktamar ke-27 di Situbondo.[20]
Dalam pandangan Gus Dur, Pancasila adalah sebuah ke sepakatan politik yang memberi peluang bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan kehidupan nasional yang sehat di dalam sebuah negara kesatuan.[21]
Dalam pandangan Islam, meskipun negara Pancasila tidak secara tegas sebagai negara agama, bukan berarti tidak mem perbolehkan umat Islam men jalankan syariat agamanya. Bagi Gus Dur, agama mempunyai peranan sebagai sumber pandangan hidup bangsa dan negara. Ini adalah inti hubungan antara Islam dan Pancasila.[22]
Namun, pada saat yang sama ideologi Pancasila menjamin kebebasan pemeluk agama untuk menjalankan ajaran agamanya. Hubungan antara keduanya dapat digambarkan sebagai agama berperan memotivasikan kegiatan individu melalui nilai-nilai luhur yang diserap oleh Pancasila dan dituangkan dalam pa ndangan hidup bangsa.[23]
Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika Gus Dur, pada suatu hari di tahun 1992 berikrar: “Pancasila adalah serangkaian prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila yang murni dengan jiwa raga saya. Terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam. Tanpa Pancasila negara RI tidak akan pernah ada.”[24]
Wujud pemikiran itu terejawantahkan melalui keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 1983 di Situbondo, bahwa Indonesia yang berasas Pancasila itu bersifat final. Ini memang keputusan jam’iyah NU, dan bukan keputusan pribadi Gus Dur. Namun, tanpa mengecilkan peranan tokoh yang lain, patut disadari Gus Dur merupakan salah satu aktor kunci bagi lahirnya keputusan itu. Seribu hari Gus Dur berpulang, rasanya kita me merlukan sentuhan aktor sekelas Gus Dur.[25]
Setidaknya, Pancasila di dalam pandangan Gus Dur saat dikaitkan dengan hubungannya   dengan Islam akan melahirkan beberapa fungsi tersendiri.  Pertama, Pancasila adalah sebah konsep penengah  yang adil, tidak boleh ada konsesi yang mendominasi  kelompok tertentu, termasuk agama.  Hal ini yang jika diterapkan dengan baik maka -menurut Gus Dur -Pancasila akan menciptakan pelaku-pelaku kebangsaan yang dapat berperan dengan baik sesuai posisinya dalam rangka memajukan negara. Kedua, karena Pancasila itu sendiri tidak boleh dikuasai oleh satu kelompok, maka hal ini akan menjadi sebuah kesempatan dialog bagi setiap kelompok di dalam ruangnya masing-masing. Dalam melakukan hal ini, sebuah kelompok untuk terbuka dalam merespon setiap gagasan baru yang dapat dinilai lebih baik, juga mempertahankan tradisi yang masih dinilai cukup baik dan belum perlu untuk tergantikan. Mengenai ini, Gus Dur menerapkan di sekitar lingkungan dirinya, dengan mengaplikasikan Al-Muhafadah ala qadimi as-shalih wal-akhdu bil jadid al-ashlah baik dalam jaringan pesantren, termasuk kelembagaan NU itu sendiri.[26]
Selain bertolak pada kedua prinsip di atas, pandangan Gus Dur terhadap Pancasila juga tak lepas dari pembacaannya terhadap perjalanan sejarah perjuangan Indonesia. Pertama yang ditilik Gus Dur dalam sisi historis kebangsaan adalah saat Presiden Soekarno meminta dan menerima para tokoh NU untuk mempertimbangkan penyusunan Pancasila sebagai dasar negara di tahun 1945, menurut Gus Dur, dari titik itulah terdapat poin yang menyimpulkan bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan Nasionalisme, Islam dapat berkembang dengan baik dalam kerangka kenegaraan nasional.[27]
Gagasan kebangsaan Gus Dur tidaklah lahir dari ruang hampa, melainkan lahir dari realitas kehidupan bangsa Indonesia yang plural dan multikultur. Hal tersebut juga diakui oleh mantan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saat menyampaikan sambutannya di acara haul Gus Dur yang ke 4, di TebuIreng, Jombang.[28]
Dalam sambutannya, SBY mengatakan bahwa ada 5 hal yang menjadi gagasan besar Gus Dur dan masih sangat relevan dengan konteks kehidupan bangsaan kita saat ini, yaitu;
Pertama; pentingnya membangun kesadaran masyarakat majemuk untuk hidup rukun sebagai upaya untuk menghin dari perpecahan bangsa. Bagi Gus Dur, kerukunan menjadi fundamen dasar keutuhan bangsa, sebab ruh bangsa ini terletak pada keanekaragamannya. Sehingga dibutuhkan kearifan, kesadaran dan kedewasaan untuk mengelolahnya.
Kedua; melawan diskriminasi, baik atas nama agama, budaya dan etnis. Pada kontek sini, perjuangan Gus Dur tidak jarang disalah pahami, khususnya ketika Gus Dur membela orang-orang yang teraniaya yang kebetulan berbeda keyakinan dengannya. Padahal dalam kenyataannya, Gus Dur tidak pernah membela paham, apalagi keyakinan yang berbeda dengan keyakinannya, melainkan membela kemanusiaan, ini demi terciptanya kehidupan masyarakat Indonesia yang setara, jauh dari prilaku diskriminasi.
Ketiga; Peran Negara harus diikurangi, karena rakyatlah yang sejatinya harus banyak berperan untuk kemajuan bangsa dan negaranya. Atas dasar itulah sehingga Gus Dur dikenal sebagai orang yang anti otoritarianisme, yang notabene sampai hari ini masih membayangi kehidupan bangsa kita. Gagasan Gus Dur ini cukup maju karena tidak hanya bermuara pada terciptanya keseimbangan sosial, melaikan juga telah melampui batas zamannya sendiri.
Empat; Negara tidak berhak mengontrol pemikiran rakyatnya. Hal ini dibuktikan saat Gus Dur menjadi Presiden, ia membuka lebar kebebasan berpendapat dan kebebasan informasi (pres) sebagai syarat terciptanya kematangan berdemokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kelima; Dukungan sipil l dan militer harus seimbang. Untuk mengimbangi kekuatan militer dan birokrasi sebagai sayap Negara di masa pemerintahan Soeharto, Gus Dur dengan dukungan NU dan Forum Demokrasi yang dipimpinya tampil menjadi sayap masyarakat sipil, ini demi untuk menciptakan relasi yang seimbang antara sipil dan militer serta mendorong kedua kelompok tersebut agar bisa memahami posisi masing-masing.
Oleh karenanya, dalam pengkajian mengenai berbagai gagasan Gus Dur yang tak terhitung jumlahnya ini, kelima gagasan kebangsaan tersebut di atas penting untuk direfleksikan kembali sebagai wahana untuk menciptakan tatanan kehidupan bangsa yang humanis, demokratis dan berkeadilan, sebagaimana yang menjadi komitmen dan cita-cita perjuangan Gus Dur semasa hidupnya.

C. Konsep Pluralisme K.H Abdurrahman Wahid
Adapun kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris “plural” yang berarti jamak atau banyak, adapun pluralisme itu sendiri berarti suatu paham atau teori yang menganggap bahwa realitas itu terdiri dari banyak substansi. Pluralisme juga sering digunakan untuk melihat makna realitas keragaman sosial-masyarakat sekaligus sebagai prinsip atau sikap terhadap keragaman itu. Baik kemajemukan dalam unsur budaya maupun keragaman manusia dengan segala aspeknya.[29]
1.    Pribumisasi Islam
Proses pertumbuhan Islam -sejak nabi Muhammad, sahabat, para ulama- tidak serta merta menolak semua tradisi pra-Islam (dalam hal ini budaya masyarakat arab pra-Islam). Tidak seluruh sistem lokal ditolak Islam, tradisi dan adat setempat yang tidak bertentangan secara diametral dengan Islam dapat diinternalisasikan menjadi ciri khas dari fenomena Islam di tempat tertentu. Demikian juga proses pertumbuhan Islam di Indonesia tidak dapat lepas dari budaya dan tradisi masyarakat.[30]
Agama dan budaya bagiakan uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Agama (Islam) bersumberkan wahyu yang bersifat normatif, maka cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya merupakan ciptaan manusia, oleh sebab itu perkembangannya mengikuti zaman dan cenderung untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Lebih lanjut Ia (Gus Dur) mengatakan:
Tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus-menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Kekayaan variasi budaya memungkinkan adanya persambungan antar berbagai kelompok atas dasar persamaan. Upaya rekonsiliasi antara budaya dan agama bukan karena kekhawatiran terjadinya ketegangan antara keduanya, sebab kalau manusia dibiarkan pada fitroh rasionalnya, ketegangan seperti itu akan reda dengan sendirinya. Sebagai contoh redanya semangat Ulama dalam mempersoalakan rambut gondrong”.[31]
Pribumisasi Islam dalam segi kehidupan bangsa merupakan suatu ide yang perlu dicermati. Selanjutnya, Gus Dur mengatakan bahwa pribumisasi bukan merupakan suatu upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti dari pribumusasi Islam adalah kebutuhan untuk menghindari polarisi antara agama dengan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.[32]
Gagasan Abdurrahman Wahid ini tampak ingin memperlihatkan Islam sebagai sebuah agama yang apresiatif terhadap konteks-konteks lokal dengan tetap menjaga pada realitas pluralisme kebudayaan yang ada. Abdurrahman Wahid dengan tegas menolak “satu Islam” dalam ekspresi kebudayaan misalnya semua simbol atau identitas harus menggunakan ekspresi kebudayaan Arab. Penyeragaman yang terjadi bukan hanya akan mematikan kreativitas kebudayaan umat tetapi juga membuat Islam teralienasi dari arus utama kebudayaan nasional. Bahaya dari proses arabisasi adalah tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri.
Kemampuan orang Islam untuk memahami masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa, dan bukan berusaha memaksakan agendanya sendiri. Kalau ini terjadi, maka yang berlangsung sebenarnya hanyalah proses pelarian (eskapisme)Umat Islam terlalu menuntut syarat-syarat yang terlalu idealistik untuk menjadi muslim yang baik. kecenderungan formalisasi ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat dan Islamisasi dalam bentuk manifestasi simbolik ini jelas tidak menguntungkan karena hanya menimbulkan kekeringan subtitusi. [33]
Bahkan Gus Dur menolak adanya pencampuradukkan kebudayaan baik oleh kalangan agama maupun kalangan birokrasi karena kebudayaan sangat luas cakupannya yaitu kehidupan sosial manusia (human social life) itu sendiri. Birokkratisasi kebudayan yang dilakukan akan menimbulkan kemandekan kreatifitas suatu bangsa. Kebudayaan sebuah bangsa pada hakekatnya adalah kenyataan pluralistic, pola kehidupan yang diseragamkan atau dengan kata lain sentralisasi adalah sesuatu yang sebenarnya tidak berbudaya.
Yang menjadi pertanyaan sekarang mampukah Islam tetap eksis dalam zaman yang serba modern ataukah Islam tengelam dalam mimpi atas kejayaan para pemikir terdahulu? Sebagai pemeluk agama yang baik dalam lingkup wawasan kebangsaan, menurut Abdurrahman Wahid yaitu: selalu mengutamakan pencarian cara-cara yang mampu menjawab tantangan zaman dan lokalitas kehidupan tanpa meninggalkan inti ajaran agama. Selalu ada upaya untuk melakukan reaktualisasi ajaran agama dalam situasi kehidupan yang konkrit, tidak hanya dicukupkan dengan visualisasi yang abstrak belaka. Dalam bahasa lain agama berfungsi sebagai wahana pengayom tradisi bangsa, sedangkan pada saat yang sama agama menjadikan kehidupan berbangsa sebagai wahana pematangan dirinya.
Benar apa yang dikatakan Abuddin Nata menyinggung perkataan dari Greg Barton bahwa: Abdurrahman Wahid merupakan seorang tokoh yang cinta terhadap budaya Islam tradisional (dalam hal ini khazanah pemikiran Islam yang dihasilakan oleh ulama-ulama terdahulu). Namun kecintaan ini bukan berarti keterlibatan dan penerimaan segala aspek budaya tradisional karena Abdurrahman sangat kritis terhadap budaya tradisonal. [34]
Pribumisasi Islam merupakan upaya dakwah (pola amar ma’ruf nahi mungkardiselaraskan dengan konsep mabadi khoiro ummah). Pelaksanaan kongkritnya adalah menasionalisasikan perjuangan Islam, dengan harapan tak ada lagi kesenjangan antara kepentingan nasional dengan kepentingan Islam. Islam sebagai agama yang diakui di Indonesia selain agama-agama yang lain diaktualisasikan sebagai inspirasi spiritual bagi tingkah laku kehidupan seorang atau kelompok dalam bermasyarakat dan bernegara. Yang dibutuhkan umat Islam Indonesia adalah menyatukan “aspirasi Islam” menjadi“aspirasi nasional”.[35]
Salah satu wajah ketegangan adalah upaya untuk menundukkan kebudayaan kepada agama melalui proses pemberian legitimasi. Legitimasi diberikan bukan sebagai alat penguat, tetapi sebagai alat pengirim. Proses ini berfungsi melakukan penyaringan terhadap hal-hal yang dipandang sesuai atau bertentangan dengan aturan-aturan agama.
Islam yang merupakan agama rahmatan lil alamin haruslah senantiasa memberikan kontribusi dalam menjawab masalah yang timbul akibat proses modernisasi. Mengapa demikian? Karena ajaran agama mempunyai peran yang penting dalam berbagai segi kehidupan pemeluknya. Dalam hal ini agama dijadikan tempat mencari jawaban atas problem-problem kehidupan para pemeluknya, oleh karenanya tokoh agama mempunyai peran kunci dalam merumuskan kembali hukum Islam yang lebih memperhatikan umat Islam dan non muslim dengan mempertimbangkan realita (pluralitas masyarakat dan proses modernisasi serta pengaruh globalisasi).
Selama ini hukum Islam hanyalah dijadikan “pos pertahanan” untuk mempertahankan identitas keislaman dari pengaruh proses sekulerisasi. Kecenderungan statis ini menunjukkan ketidakmampuan hukum Islam dalam menjawab perubahan zaman yang aktual. Padahal hukum Islam masih memiliki peran yang cukup besar dalam kehidupan masyarakat. Hukum Islam baru mampu menolak kemungkaran, kebaktilan dan kemaksiatan dan belum mampu menjadi penganjur kebaikan dalam arti yang luas.
2)    Nilai-nilai Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
Demokrasi merupakan salah satu tema besar yang perlu digaris bawahi dari perjuangan dan pemikiran Abdurrahman Wahid. Baginya konsep demokrasi adalah konsekuensi logis yang dianggapnya sebagai salah satu dimensi dalam ajaran Islam. Alasan Gus Dur mengapa Islam dikatakan agama demokrasi. Pertama, Islam adalah agama hukum, dengan pengertian agama Islam berlaku bagi semua orang tanpa memandang kelas. Kedua, Islam memiliki asas permusyawaratan (amruhum syuraa bainahum), artinya adanya tradisi bersama membahas dan mengajukan pemikiran secara terbuka dan pada akhirnya diakhiri dengan kesepakatan. Ketiga, Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan.[36]
Ide demokratisasi Abdurrahman Wahid muncul karena ia melihat ada kecenderunagn umat Islam Indonesia menjadikan Islam sebagai “alternatif” bukannya sebagai “inspirasi” bagi kehidupan masyarakat. Di sinilah letak permasalahannya, Islam tidak bisa menyatakan sumbangannya lebih besar dan benar dari yang lainnya karena semua pihak sama. Adanya penghargaan terhadap pluralitas dengan menganggap mereka yang berada di luar sebagai orang mandiri.
Meskipun banyak orang mengatakan bahwa ia adalah seorang yang inkonsistensi, sering membuat manuver dan ide-ide yang membingungkan dan dianggap menyesatkan umatnya. Namun justru keinginannya menampilkan nilai-nilai Islam dalam segi kehidupan masyarakat Indonesia yang plural menunjukkan ia sangat konsisten. Hal ini terlihat dari perjuangan dan komitmennya dalam menyuarakan demokrasi, penegakan hak asasi manusia (pembelaan terhadap kaum minoritas, termasuk pembelaan terhadap perempuan) serta keadilan bagi setiap warga tanpa membedakan identitas serta latar belakang ideologi.[37]
Lebih lanjut, dalam rangka pembelaannya terhadap demokrasi dilakukan, ia tidak harus masuk dalam sistem tetapi di manapun dan kapanpun usaha pembelaan tehadap demokrasi dan keadilan terus dilakukakan. Ia secara tegas menolak bergabung dengan ICMI dan memelopori berdirinya forum demokrasi (FORDEM) sekaligus menjadi ketua Fordem. Ia sosok yang tak mau menyerah dan terkesan bandel, meskipun keberadaannya di fordem mendapatkan kritikan tajam kiai senior NU dan para cendikiawan muslim. Nurcholis Majid mengatakan:
…kalau Gus Dur tidak masuk ICMI maka Gus Dur akan kehilangan basis intelektualnya.” Gus Dur segera menjawab, “sejak kapan ICMI menjadi basis intelektual saya, basis intelektual saya itu di pesantren, kiai pondokan, sekali lagi bukan ICMI.”[38]
Pembelaan terhadap minoritas mendapatkan perhatian yang serius dari Gus Dur. Undang-undang menjamin akan perlakuan yang sama terhadap warga masyarakat untuk: berpendapat, keamanan, memilih agama dan pindah agama dan seterusnya. Muslim yang mayoritas harus dapat melindungi mereka yang minoritas.[39]
Merupakan pengingkaran hakekat demokrasi yang ingin kita tegakkan di negeri ini, karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama mayoritas menjadi warga negara kelas dua. Dalam keadaan demikian, persamaan kedudukan semua warga negara di muka undang-undang tidak tercapai.[40]
Dalam konteks ke-Indonesi-an yang pluralistik hendaknya Islam tidak ditempatkan sebagai ideologi alternatif seperti memposisikan syari’ah berhadapan dengan kedaulatan rakyat. Kontribusi Islam dalam demokrasi bisa dicapai bila dari Islam ditarik sejumlah prinsip universalnya seperti persamaan, keadilan, musyawarah, kebebasan dan rule of law, karena dalam satu aspeknya adalah merupakan agama hukum. Pemikiran demokrasi Abdurrahman Wahid menunjukkan ia telah menerima konsep demokrasi liberal atau parlementer dan secara tegas menolak pemikiran atau “kedaulatan Tuhan” atau pemikiran yang berusaha mengawinkan kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan rakyat, seperti yang dirumuskan oleh Dhiya’ ad-Din Rais.
“Saya bersedia memakai yang manapun asal benar dan cocok dengan hati nurani. Saya tidak memedulikan kutipan dari injil, Bhagawad Gita kalau benar kita terima. Dalam masalah bangsa ayat-ayat al Qur’an kita pakai secara fungsional bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai dalam persoalan mendasar. Tetapi aplikasi, soal penafsiran. Berbicara penafsiran berarti bukan lagi masalah teologis tetapi sudah pemikiran.”[41]
Kedaulatan ada di tangan rakyat, ini merupakan kata kunci dari “demokrasi”. Rakyat yang menentukan arah dan haluan negara menuju masa depan dalam kehidupan yang adil dan beradab demi kesejahteraan bangsa dan negara. Mereka akan menentukan masa depan bangsa ini. Yang jelas rakyat menginginkan keadilan, kesejahteraan hidup lahir maupun batin, baik secara material maupun spiritual.[42]
3)    Prinsip Humanis dalam Pluralitas Masyarakat
Dalam proses demokratisasi ada sesuatu keharusan, yang tak boleh dilupakan dan diabaikan yaitu tentang kemanusiaan. Kemanusiaan ini tak dapat diabaikan karena hakekat dari demokrasi adalah menempatkan manusia sebagai subjek demokrasi itu sendiri.[43]
Dari sekarang sebenarnya telah dituntut dari kita kesediaan bersama untuk memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang hidup di negeri kita. Perjuangan itu haruslah dimulai kesediaan menumbuhkan moralitas baru dalam kehidupan bangsa dan negara dalam kehidupan bangsa, yaitu moralitas yang merasa terlibat dengan penderitaan rakyat di bawah.
Pandangan Abdurrahman Wahid tentang kemanusiaan ini muncul karena masih adanya konflik berkepanjangan yang terus terjadi hingga sekarang baik atas nama suku, ras, golongan maupun yang mengatasnamakan agama di berbagai pelosok di Indonesia. Konflik yang berkepanjangan ini menunjukkan belum adanya penghargaan terhadap kemanusiaan dan mudahnya orang main hakim sendiri. Dalam hal ini tokoh agama, birokrat, pendidik, tokoh masyarakat berperan terhadap penananman nilai-nilai agama yang berkaitan dengan moralitas.[44]
Agama samawi yang terakhir (Islam) menurut Abdurrahman Wahid memuat lima jaminan kemanusiaan. Jaminan itu antara lain: keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, jaminan atas keyakinan agama masing-masing, keselamatan keluarga dan keturunan, perlindunagn harta benda dan milik pribadi. Dari kelima jaminan dasar Islam terhadap kemanusiaan menunjukkan bahwa Islam memperlakukan warga masyarakat tanpa membedakan agama. [45]

4. Prinsip Keadilan dan Egaliter
Demokrasi dikatakan berhasil jikalau warga masyarakat mendapatkan keadilan. Demokrasi terasa berkeadilan apabila ada kesetaraaan (egalitarianisme) warga masyarkat baik di depan undang-undang, hukum maupun dalam lembaga birokrasi dengan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama tanpa adanya diskriminasi gender, warna kulit, pribumi-keturunan, etnis, idiologi, dan agama.[46]
Jika dikaitkan dengan keadilan, demokrasi hanya dapat tegak dengan keadilan. Kalau Islam menopang demokrasi, maka Islam juga harus menopang keadilan. Sebagaimana difirmankan oleh Allah, “wahai orang-orang yang beriman, hendaknya kalian menegagkan keadilan”. Perintah ini sangat jelas, yakni perlunya ditegakkan keadilan dalam segala bentuk, baik keadilan hukum maupun keadilan sosial.[47]
Keadilan sosial ini sangat penting karena salah satu patokan Islam adalah kaidah fiqh: langkah dan kebijaksanaan para pemimpin mengenai rakyat yang mereka pimpin haruslah terkait sepenuhnya dengan kesejahteraan rakyat yang mereka pimpin itu. Karena orientasinya adalah kesejahteraan rakyat, maka keadilan sangat dipentingkan. Orientasi kesejahteraan inilah yang membuktikan demokratis atau tidaknya kehidupan suatu masyarakat”.[48]
Dari uraian di atas dapat tarik benang biru bahwa perbedaan agama, budaya, etnis harus dipahami dengan sikap yang bijak dan arif dari semua pihak tanpa mengunggulkan kelompok sendiri sembari merendahkan kelompok lain. Tiap kelompok masyarakat mempunyai kedudukan yang sama dalam hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam membangun Indonesia. Dengan rasa solidaritas, keterbukaan, toleransi dan dialog kita membangun Indonesia yang berdudaya dan beradab, aman dan damai.



 BAB III
SIMPULAN
Gagasan kebangsaan jika dihubungkan dengan perspektif Gus Dur adalah konsepsi cara pandang hasil dari pemikiran seorang Gus Dur yang orisinil mengenai (yang bertalian dengan) bangsa, yang bertujuan untuk memahami keberadaan jati diri sebagai suatu bangsa dalam memandang dirinya dan bertindak sesuai dengan falsafah bangsa yang dianut.
Berbagai gagasan kebangsaan yang dikedepankan oleh Gus Dur diambil dari sekian banyaknya pemikiran beliau, disederhanakan dalam tiga poin besar yakni: Humanisme, Demokrasi, dan Berkeadilan. Dan juga dari berbagai gagasan dan pemikiran Gus Dur, ada satu yang perlu kita selalu dengungkan untuk mempertajam cinta kasih terhadap negara. Yaitu, prinsip Gus Dur yang berkaitan dengan relasi antara Islam dan kebangsaan. Dalam pandangan Gus Dur, keduanya tidak harus didudukkan di dalam posisi yang saling bertentangan.
Isi dari kajian mengenai gagasan kebangsaan dalam perspektif Gus Dur itu sendiri, antara lain: Humanisme, Multikulturalisme, dan Hubungan Islam dengan Pancasila. Adapun mengenai kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris “plural” yang berarti jamak atau banyak, adapun pluralisme itu sendiri berarti suatu paham atau teori yang menganggap bahwa realitas itu terdiri dari banyak substansi. Pluralisme juga sering digunakan untuk melihat makna realitas keragaman sosial-masyarakat sekaligus sebagai prinsip atau sikap terhadap keragaman itu. Baik kemajemukan dalam unsur budaya maupun keragaman manusia dengan segala aspeknya. Untuk konsep pluralisme yang menjadi ciri khas dari gagasan dan pemikiran Gus Dur itu sendiri, terdiri dari berbagai materi: Pribumisasi Islam, Makna Nilai Demokrasi dan HAM, Konsep Humanisme dan Pluralitas Masyarakat, dan Prinsif Keadilan serta Egaliter.
Akhirnya, dalam pengkajian mengenai berbagai gagasan Gus Dur yang tak terhitung jumlahnya ini, kelima gagasan kebangsaan tersebut di atas penting untuk direfleksikan kembali sebagai wahana untuk menciptakan tatanan kehidupan bangsa yang humanis, demokratis dan berkeadilan, sebagaimana yang menjadi komitmen dan cita-cita perjuangan Gus Dur semasa hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Abdul. 2008. Membumikan Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Jadra, Muhammad. 2005. Pluralisme Baru dan Cinta Kebangsaan. Bandung: Tafsir Baru.
Muhaimin. 2008. Sang Pembaharu Abad ke-20 (Perjalanan Hidup Gus Dur). Jakarta: Indira.
Munajat, Ahmad. 2005. Menyingkap Pluralisme Gus Dur (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit.
Murod, Makmun. 2003. Analisa Pemikiran Nurkholis Madjid dan Gus Dur mengenai Negara. Jakarta: Madani Press.
Nata, Abuddin. 2001. Tokoh Pembaharu Islam di Indonesia. Jakarta: Insani.
Reksa, Mastuhu. 2001. Terjemahan kitab Al-Mustasyfa Jilid I karya Imam Al-Ghazalli. Bengkulu: Bangalore Press.
Wahid, Abdurrahman. 2008. Islam-ku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: Rajawali Press.
http://samasyari.blogspot.com/definisi-gagasan-para-ahli/. Diakses tanggal 14/04/2016
http://jarkom.wordpress.com/definisi-kebangsaan/. Diakses tanggal 14/04/2016
http://NU.ac.id/gagasan-islam-dan-pancasila-ala-gusdur/. Diakses tanggal 14/04/2016
http://NU.ac.id/haul-ke-lima-gus-dur/. Diakses tanggal 14/04/2016



[1] Memiliki berbagai dimensi (pemikiran, nilai, gagasan, dasar, dsb).
[2] M. Jadra, “Pluralisme Baru dan Cinta Kebangsaan”, Amin Abdullah, dkk, Tafsir Baru…, hlm 289
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] WJS. Poerwadarminta. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. Ke-II. 1999.
[9]Murod, Makmun. 2003. Analisa Pemikiran Nurkholis Madjid dan Gus Dur mengenai Negara. Hal. 72
[10] Ibid.
[11] Op,.Cit
[12] Murod, Makmun. 2003. Analisa Pemikiran Nurkholis Madjid dan Gus Dur mengenai Negara. Hal. 76
[13] Muhaimin, sang pembaharu abad ke-20, 2008 hal.65
[14] Reksa Mastuhu. Terjemahan kitab Al-Mustasyfa karya Imam Al-Ghazali, Jilid I. Hal. 287
[15] Muhaimin, sang pembaharu abad ke-20, 2008 hal.65
[16] Ibid. Hal. 65
[17] Ibid. Hal.65
[18] Op,.Cit. hal. 65
[19] Ibid. Hal. 66
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] http://NU.ac.id/gagasan-islam-dan-pancasila-ala-gusdur/. Diakses tanggal 14/04/2016
[25] Ibid.
[26] Hadi, Abdul. 2008. Membumikan Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University. Hal. 90
[27] http://NU.ac.id/gagasan-islam-dan-pancasila-ala-gusdur/. Diakses tanggal 14/04/2016
[28] http://NU.ac.id/haul-ke-empat-gusdur/. Diakses tanggal 14/04/2016
[29] Ahmad Munajat, Menyingkap Pluralisme GusDur, edisi revisi 2005 hal. 34
[30] Ibid.
[31] Jadra, Muhammad. 2005. Pluralisme Baru dan Cinta Kebangsaan. Bandung: Tafsir Baru. Hal. 82
[32] Ibid. Hal. 35
[33] Abdul Hadi, Membumikan Islam di Indonesia, 2008, hal 48
[34] Abuddin Nata, Tokoh Pembaharu Islam Di Indonesia, 2001, Hal.53
[35] Ibid. Hal.54
[36] Abdurrahman Wahid. Islam-ku, Islam Anda, Islam Kita. 2006. Hal. 105
[37] Muhaimin. 2008. Sang Pembaharu Abad ke-20 (Perjalanan Hidup Gus Dur). Hal. 51
[38] Makmun Murod, analisa pemikiran Nurkholis Madjid dan Gus Dur mengenai negara, 2003, hal. 23
[39] Ibid. Hal. 25
[40] Ibid.
[41] Murod, Makmun. 2003. Analisa Pemikiran Nurkholis Madjid dan Gus Dur mengenai Negara. Hal. 55
[42] Ibid. Hal. 54
[43] Ibid.
[44] http://gusdurian.com/peran-gusdur-yang-tak-kunjung-padam-untuk-indonesia/.Diakses tanggal 14/04/2016
[45] Abdurahman Wahid, Islam-ku, Islam Anda, Islam Kita. 2006, hal.317
[46] Murod, Makmun. 2003. Analisa Pemikiran Nurkholis Madjid dan Gus Dur mengenai Negara. Hal. 58
[47] Ibid. Hal.60
[48] Ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MATA PENCAHARIAN MASYARAKAT SUNDA (MAKALAH SASTRA DAN BUDAYA SUNDA)

HISTORIOGRAFI G.W.F. HEGEL: STUDI KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN DAN KARYA NYA MENGENAI GERAK SEJARAH

MUSEUM FATAHILLAH DAN MERIAM SI JAGUR DI KOTA TUA: ANALISIS SEJARAH, ANTROPOLOGI DAN KEUNIKANNYA. (LAPORAN PENELITIAN MATA KULIAH ARKEOLOGI)