Gagasan kebangsaan Gus Dur (SPMDI II)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Negara Indoneisa adalah Negara yang terdiri
dari beraneka ragam masyarakat, suku bangsa, etnis, ras dan Agama. Dengan
semakin beraneka ragamnya masyarakat dan budaya, sudah tentu akan membuat
setiap individu akan memiliki keinginan yang berbeda-beda, latar belakang yang
berbeda, struktur social dan karakter juga pandangan dalam berpikir yang
berbeda pula. Hal ini sebenarnya bisa menimbulkan konflik dan perpecahan yang
hanya berlandaskan emosi diantara individu masyarakat, apalagi penduduk
Indonesia itu mudah terpengaruh tanpa mau menganalisis dulu dengan yang
terjadi. Untuk itu lah sangat diperlukan sosok pemimpin yang bisa mengatasi
masalah seperti ini, yang memiliki semangat pluralism dan menghargai perbedaan.
Dari sederet nama
pemimpin yang terkenal dengan gagasan-gagasan yang luar
biasa tersebut, ada nama Abdurrahman
Wahid atau yang biasa kita panggil Gus Dur. Gus Dur bukan pemimpin biasa. Gus Dur memiliki
keunikan yang membedakannya dengan pemimin-pemimpin yang lain.
Gus Dur adalah manusia
multidimensional[1].
Gus Dur tidak hanya melahap pemikiran al-Ghazali sampai Ibn Rushd. Gus Dur juga
mempunyai semangat tinggi untuk berkawan dengan pemikiran orang-orang seperti
al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Bajah, dan Ibn Thufail, hingga para filosof Yunani
seperti Aristoteles dan Plato. Ia pun berkelana cukup jauh membaca karya-karya
Karl Marx dan Fredrich Engels, juga Immanuel Kant dan Bonaventura.[2]
Sudah terlampau banyak
penelitian tentang Gus Dur dalam berbagai perspektif, mulai dari segi ilmiah
hingga khazanah gaib. Puluhan atau bahkan ratusan buku yang mengulas rinci
noktah-noktah pemikiran Gus Dur telah diterbitkan, baik tatkala Gus Dur masih
hidup maupun ketika sudah meninggal dunia.
Dari berbagai gagasan dan pemikiran Gus Dur yang dianggap selalu kontroversial dikalangan
masyarakat, ada satu yang perlu
kita selalu dengungkan untuk mempertajam cinta kasih terhadap negara. Yaitu,
prinsip Gus Dur yang berkaitan dengan relasi antara Islam dan kebangsaan. Dalam
pandangan Gus Dur, keduanya tidak harus didudukkan di dalam posisi yang saling
bertentangan.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, maka
dapat dirumuskan masalah dalam penulisan makalah ini, yakni sbb:
1.
Bagaimana
definisi dari gagasan kebangsaan Gus Dur menurut para ahli?
2.
Apa saja
gagasan kebangsaan dalam perspektif Gus Dur?
3.
Bagaimana
konsep Pluralisme dari Gus Dur?
C.
TUJUAN PENULISAN
Dilihat dari rumusan masalah diatas,
maka dapat ditentukan tujuan penulisan makalah ini yakni, sbb:
1.
Mengetahui
definisi dari gagasan kebangsaan Gus Dur menurut para ahli?
2.
Mengetahui apa
saja gagasan kebangsaan dalam perspektif Gus Dur?
3.
Mengetahui
Bagaimana konsep Pluralisme dari Gus Dur?
BAB II
PEMBAHASAN
A. KAJIAN TEORITIS
Secara teoritis
pembahasan mengenai pengertian-pengertian Gagasan kebangsaan menurut
para ahli adalah sebagai berikut:
Menurut Suyono (2004) gagasan adalah sesuatu
hasil pemikiran, usulan, keinginan, harapan yang akan disampaikan seorang
pemikir yang dilengkapi dengan fakta, data, informasi yang orisinil.[3]
Menurut widyamartaya (1990) gagasan adalah
kesan dalam dunia batin seseorang yang hendak disampaikan kepada orang lain.
Baik berupa pengetahuan, pengamatan keinginan, perasaan, dan sebagainya.[4]
Menurut Fahri Hamzah (2001) gagasan adalah penyampaian
pemikiran berupa data bukti, hasil penalaran, dan pendapat seseorang yang
bertujuan untuk memecahkan suatu masalah. Yang mana gagasan menyebabkan
timbulnya konsep, yang merupakan dasar bagi segala macam pengetahuan.[5]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
karya WJS. Poerwadarminta (2000) gagasan adalah hasil pemikiran, ide, rancangan
yang tersusun dalam pikiran. Artinya sama dengan cita-cita.[6]
Sedangkan untuk definisi kebangsaan menurut
para ahli adalah, sebagai berikut:
Kebangsaan berasal dari kata “bangsa” yang
menurut KBBI, berarti kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat,
bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.[7]
Menurut Suhadi (2006) kebangsaan merupakan cara
pandang yang mengandung kemampuan seseorang atau kelompok orang untuk memahami
keberadaan jati diri sebagai suatu bangsa dalam memandang dirinya dan bertindak
sesuai falsafah hidup bangsa dalam lingkungan internal dan lingkungan
eksternal.[8]
Dari
berbagai definisi mengenai gagasan kebangsaan diatas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa gagasan kebangsaan jika dihubungkan dengan perspektif Gus Dur
adalah konsepsi cara pandang hasil dari pemikiran seorang Gus Dur yang orisinil
mengenai (yang bertalian dengan) bangsa, yang bertujuan untuk memahami
keberadaan jati diri sebagi suatu bangsa dalam memandang dirinya dan bertindak
sesuai dengan falsafah bangsa yang dianut.
B. GAGASAN KEBANGSAAN DALAM PERSPEKTIF GUS DUR
Dari berbagai gagasan dan pemikiran Gus Dur, ada satu yang perlu kita selalu dengungkan untuk mempertajam
cinta kasih terhadap negara. Yaitu, prinsip Gus Dur yang berkaitan dengan
relasi antara Islam dan kebangsaan. Dalam pandangan Gus Dur, keduanya tidak
harus didudukkan di dalam posisi yang saling bertentangan.
1. Komitmen Humanisme
Kini, di tengah masalah
kebangsaan di Indonesia yang masih menghadapi tantangan yang tidak ringan,
perlu kiranya kita memahami akar pemikiran Gus Dur. Memahami akar pemikiran Gus
Dur adalah bentuk antisipasi bersama untuk menyelamatkan Pancasila.
Akar pemikiran politik
KH Abdurrahman Wahid sesungguhnya didasarkan pada komitmen kemanusiaan
(humanism-insaniyah) dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Gus Dur, komit men
kemanusiaan itu dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan tuntutan
persoalan utama kiprah politik umat Islam dalam masyarakat modern dan
pluralistik Indonesia.
Komitmen kemanusiaan
itu pada intinya adalah menghargai sikap toleransi dan memiliki kepedulian yang
kuat terhadap keharmonisan sosial. Menurut Gus Dur, dua elemen asasi, yaitu
humanisme dan toleransi dapat menjadi dasar ideal modus keberadaan politik
komunitas Islam di Indonesia.[9]
Modus politik yang
secara konsisten diperjuangkan oleh Gus Dur adalah komitmen terhadap sebuah
tatanan politik nasional yang tidak sektarian dan sekaligus mengangkat universalitas
kemanusiaan. Platform kehidupan umat Islam seharusnya diletakkan pada tiga
prinsip persaudaraan, yaitu ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah
basyariyah, sebagaimana prinsip NU. Karena itu, di dalam politik Gus Dur selalu
menghindari formalitas Islam dalam negara.[10]
Akar pemikiran politik
Abdurrahman Wahid yang lainnya adalah penguatan civil society. Ia
berpendapat, paradigma baru yang harus dikembangkan oleh umat Islam adalah
mengambil titik masuk strategis, yaitu pembentukan civil society (pemberdayaan
rakyat bawah). Pengembangan orientasi civil society ini
sejalan dengan NU setelah kembali ke Khittah 1926.[11]
Civil society sejalan
dengan NU dikarenakan; pertama, NU tak lagi hanya membatasi diri pada upaya
pemecahan masalah-masalah yang menyangkut kepentingan warga Nahdliyin, tetapi
diperluas hingga menyangkut kepentingan bangsa. Kedua, NU mengakui bahwa
wilayah esensi bagi sebuah civil society yang mandiri kini
menjadi komitmen utama perjuangannya. Ketiga, NU pascaKhittah berniat menitikberatkan
geraknya pada level masyarakat untuk memperkuat kemandirian dan kepercayaan
dirinya. Berlatar dari pemikiran inilah maka muncul
gagasan mengenai pembentukan parpol yang berasaskan NU, seperti PKB, Partai
NU,dsb.[12]
2. Multikulturalisme
Paham ini di rancang bagi
pengembangan kepribadian orang-orang Islam, yakni dengan cara memperluas
pengetahuan mereka. Artinya, mereka harus mampu bersaing dengan dunia luar dan
tidak hanya fokus pada literatur universal mereka. Mereka harus membuka diri
dengan seluruh ideologi-ideologi pemikiran barat dengan tujuan memberdayakan
umat Islam, agar dapat lebih mudah untuk mengakses segala macam pengetahuan dan
informasi.
Setidaknya ada lima gagasan besar pemikiran
yang diperjuangkan Gus Dur sepanjang hidunya melalui Multikulturalisme
ini dilihat dari berbagai aktifitas
sosial, politik dan keagamaan, tutur Muhaimin.[13] Pertama,
dalam keyakinan Gus Dur sesuai dengan khazanah keyakinan NU, syariat Islam
diturunkan kepada manusia tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk melindungi
kepentingan dasar manusia itu sendiri, mewujudkan perdamaian, kemaslahatan dan
kemajuan di antara mereka. Untuk tujuan itu para ulama di masa lampau
merumuskan sebuah konsep yang dikenal dengan maqashid as-syariah (tujuan-tujuan
syariah).
Dalam salah satu karya monumentalnya, Al-Mustasyfa (
jilid I, hal. 287), Al-Ghazali menyebutkan tujuan syariat diturunkan kepada
manusia adalah untuk melindungi lima hal, yaitu: (1) agama dan keyakinan, (2)
jiwa, (3) akal, (4) keturunan dan (5) harta atau hak milik pribadi. Dengan demikian, Islam dalam pandangan Gus Dur sangat melindungi
kebebasan beragama, berkeyakinan, berprofesi dan berfikir. Islam sangat
melindungi hak-hak asasi manusia (HAM).[14]
Sesuai dengan tujuan
syariat diatas, Gus Dur sangat mengedepankan toleransi beragama dan menjunjung
tinggi komunikasi dengan kelompok agama yang berbeda. Bagi Gus Dur, kebesaran
Islam dimasa lampau bisa dimungkinkan karena peradaban Islam mampu menyerap
nilai-nilai dari peradaban agama lain.
Kedua, Gus Dur adalah tokoh agama
yang sangat anti-kekerasan. Bagi Gus Dur, kekerasan bukan hanya bertentangan
secara diametral dengan ajaran Islam, tetapi juga merugikan Islam itu sendiri,
Gus Dur selalu mengedepankan dialog, baik antar-umat beragama maupun
antar-agama. Menurut Gus Dur, pertentangan pendapat tidak semuanya harus
diselesaikan dengan melarang atau menyesatkan kelompok lain. Toleransi justru
bisa lebih membawa hasil. Bagi Gus Dur, hak hidup dan menjalankan ajaran agama
yang diyakini merupakan hak dasar yang di jamin sepenuhnya oleh syariat.[15]
Ketiga, demokrasi adalah
bagian dari manifestasi tujuan syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa. Dalam pandangan Gus Dur, dalam dunia modern demokrasilah yang dapat
mempersatukan keberagaman arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa demokrasi
dapat merubah ketercerai-beraian arah masing-masing kelompok menjadi berputar
bersama-sama menuju kedewasaan, kemajuan dan integritas bangsa. Demokrasi
menjadi sedemikian penting dalam sebuah negara yang pluralistik dan multikultural
ini, karena ternyata perikehidupan kebangsaan yang utuh hanya bisa tercapai dan
tumbuh dalam suasana demokrasi.[16]
Keempat, Gus Dur adalah
penjaga tradisi, di mana menurut pandangannya, agama dan budaya beresifat
saling melengkapi. Menurutnya, agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi
masing-masing, tetapi keduanya mempunyai wilayah tumpang tindih. Manusia tidak
bisa beragam tanpa budaya, karena kebudayaan merupakan kretifitas manusia yang
bisa menjadi salah satu bentuk ekspresi keberagaman. Tetapi tidak dapat
disimpulkan bahwa agama adalah kebudayaan. Di antara keduanya terjadi tumpang
tindih dan saling mengisi namun tetap memiliki beberapa perbedaan.[17]
Agama bersumber pada
wahyu dan memiliki norma-norma sendiri. Norma-norma bersifat normatif, karenanya
ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah kreativitas manusia,
karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung selalu
berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan
beragama dalam bentuk budaya. Dengan kata lain perspektif demikian menempatkan
agama sesuai dengan fungsinya sebagai wahana pengayom tradisi bangsa dan pada
saat yang sama agama menjadikan kehidupan berbangsa sebagai wahana pematangan
dirinya.[18]
Kelima, menurut Gus Dur,
Islam ebih efektif dan membumi jika berfungsi sebagai etika sosial. Hukum
agama, kata Gus Dur, tidak akan kehilangan kebesarannya dengan difungsikan
sebagai etika masyarakat. Bahkan kebesarannya akan memancar karena ia mampu
mengembangkan dirinya tanpa dukungan massif dari institusi negeri. Bagi Gus
Dur, beragama Islam artinya berserah diri sepenuhnya kepada Allah, adalah
tujuan hidup yang luhur. Karenanya haruslah dihindarkan agar Islam tidak
diletakkan di bawah wewenang negara, melainkan menjadi kesadaran kuat dari warga
masyarakat.[19]
Yang juga khas dari Gus
Dur adalah adalah pemikirannya yang bersumber dari nilai-nilai tradisional
dalam pandangan hidup pesantren yang di perkaya dengan nilai-nilai dari agama,
budaya dan peradaban lain. Keterbukaan sikap dan pemikiran Gus Dur dengan
sendirinya merupakan bawaan dari keterbukaan pandangan hidup pesantren dan
masyarakat darimana ia berasal.
3. Pancasila dan Islam
Kajian ini mendapat
perhatian dikarenakan masih banyak pemikir Islam dan literatur Islam yang
mendikotomikan negara Pancasila dan negara Islam. Ketegangan antara umat Islam
dan pemerintah dapat dilihat ketika kebijakan menjadikan Pancasila sebagai
satu-satunya asas bagi seluruh organisasi sosial politik dan sosial keagamaan.
Mulai saat itu kajian tentang Pancasila dalam
perspektif Islam berlangsung sangat intens dan baru mulai reda ketika NU, yang
memaknainya atas dasar-dasar pemikiran keagamaan, menerima Pancasila sebagai
asas organisasi pada Muktamar ke-27 di Situbondo.[20]
Dalam pandangan Gus
Dur, Pancasila adalah sebuah ke sepakatan politik yang memberi peluang bagi
bangsa Indonesia untuk mengembangkan kehidupan nasional yang sehat di dalam
sebuah negara kesatuan.[21]
Dalam pandangan Islam,
meskipun negara Pancasila tidak secara tegas sebagai negara agama, bukan berarti
tidak mem perbolehkan umat Islam men jalankan syariat agamanya. Bagi Gus Dur,
agama mempunyai peranan sebagai sumber pandangan hidup bangsa dan negara. Ini
adalah inti hubungan antara Islam dan Pancasila.[22]
Namun, pada saat yang
sama ideologi Pancasila menjamin kebebasan pemeluk agama untuk menjalankan
ajaran agamanya. Hubungan antara keduanya dapat digambarkan sebagai agama
berperan memotivasikan kegiatan individu melalui nilai-nilai luhur yang diserap
oleh Pancasila dan dituangkan dalam pa ndangan hidup bangsa.[23]
Oleh karena itu, tidak
berlebihan kiranya jika Gus Dur, pada suatu hari di tahun 1992 berikrar: “Pancasila
adalah serangkaian prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik
tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan
Pancasila yang murni dengan jiwa raga saya. Terlepas dari kenyataan bahwa ia
tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun
sekelompok umat Islam. Tanpa Pancasila negara RI tidak akan pernah ada.”[24]
Wujud pemikiran itu
terejawantahkan melalui keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 1983 di
Situbondo, bahwa Indonesia yang berasas Pancasila itu bersifat final. Ini memang
keputusan jam’iyah NU, dan bukan keputusan pribadi Gus Dur. Namun, tanpa
mengecilkan peranan tokoh yang lain, patut disadari Gus Dur merupakan salah
satu aktor kunci bagi lahirnya keputusan itu. Seribu hari Gus Dur berpulang,
rasanya kita me merlukan sentuhan aktor sekelas Gus Dur.[25]
Setidaknya, Pancasila di dalam pandangan Gus Dur saat dikaitkan dengan
hubungannya dengan Islam akan melahirkan beberapa fungsi tersendiri. Pertama, Pancasila adalah sebah konsep penengah yang adil, tidak boleh ada
konsesi yang mendominasi kelompok tertentu, termasuk agama. Hal ini
yang jika diterapkan dengan baik maka -menurut Gus Dur -Pancasila akan
menciptakan pelaku-pelaku kebangsaan yang dapat berperan dengan baik sesuai
posisinya dalam rangka memajukan negara. Kedua, karena
Pancasila itu sendiri tidak boleh dikuasai oleh satu kelompok, maka hal ini
akan menjadi sebuah kesempatan dialog bagi setiap kelompok di dalam ruangnya
masing-masing. Dalam melakukan hal ini, sebuah kelompok untuk terbuka dalam
merespon setiap gagasan baru yang dapat dinilai lebih baik, juga mempertahankan
tradisi yang masih dinilai cukup baik dan belum perlu untuk tergantikan. Mengenai ini, Gus Dur menerapkan di sekitar lingkungan dirinya, dengan
mengaplikasikan Al-Muhafadah ala qadimi as-shalih wal-akhdu bil jadid
al-ashlah baik dalam jaringan pesantren, termasuk kelembagaan NU itu
sendiri.[26]
Selain bertolak pada
kedua prinsip di atas, pandangan Gus Dur terhadap Pancasila juga tak lepas dari
pembacaannya terhadap perjalanan sejarah perjuangan Indonesia. Pertama yang
ditilik Gus Dur dalam sisi historis kebangsaan adalah saat Presiden Soekarno
meminta dan menerima para tokoh NU untuk mempertimbangkan penyusunan Pancasila
sebagai dasar negara di tahun 1945, menurut Gus Dur, dari titik itulah terdapat
poin yang menyimpulkan bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan
Nasionalisme, Islam dapat berkembang dengan baik dalam kerangka kenegaraan
nasional.[27]
Gagasan kebangsaan Gus Dur tidaklah lahir dari
ruang hampa, melainkan lahir dari realitas kehidupan bangsa Indonesia yang
plural dan multikultur. Hal tersebut juga diakui oleh mantan Presiden Republik
Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saat menyampaikan sambutannya di
acara haul Gus Dur yang ke 4, di TebuIreng, Jombang.[28]
Dalam sambutannya, SBY mengatakan bahwa ada 5
hal yang menjadi gagasan besar Gus Dur dan masih sangat relevan dengan konteks
kehidupan bangsaan kita saat ini, yaitu;
Pertama; pentingnya
membangun kesadaran masyarakat majemuk untuk hidup rukun sebagai upaya untuk
menghin dari perpecahan bangsa. Bagi Gus Dur, kerukunan menjadi fundamen dasar
keutuhan bangsa, sebab ruh bangsa ini terletak pada keanekaragamannya. Sehingga
dibutuhkan kearifan, kesadaran dan kedewasaan untuk mengelolahnya.
Kedua; melawan diskriminasi,
baik atas nama agama, budaya dan etnis. Pada kontek sini, perjuangan Gus Dur
tidak jarang disalah pahami, khususnya ketika Gus Dur membela orang-orang yang
teraniaya yang kebetulan berbeda keyakinan dengannya. Padahal dalam
kenyataannya, Gus Dur tidak pernah membela paham, apalagi keyakinan yang
berbeda dengan keyakinannya, melainkan membela kemanusiaan, ini demi
terciptanya kehidupan masyarakat Indonesia yang setara, jauh dari prilaku
diskriminasi.
Ketiga; Peran Negara
harus diikurangi, karena rakyatlah yang sejatinya harus banyak berperan untuk
kemajuan bangsa dan negaranya. Atas dasar itulah sehingga Gus Dur dikenal
sebagai orang yang anti otoritarianisme, yang notabene sampai hari ini masih
membayangi kehidupan bangsa kita. Gagasan Gus Dur ini cukup maju karena tidak
hanya bermuara pada terciptanya keseimbangan sosial, melaikan juga telah
melampui batas zamannya sendiri.
Empat; Negara tidak berhak mengontrol pemikiran
rakyatnya. Hal ini dibuktikan saat Gus Dur menjadi Presiden, ia membuka lebar
kebebasan berpendapat dan kebebasan informasi (pres) sebagai syarat terciptanya
kematangan berdemokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kelima; Dukungan sipil
l dan militer harus seimbang. Untuk mengimbangi kekuatan militer dan birokrasi
sebagai sayap Negara di masa pemerintahan Soeharto, Gus Dur dengan dukungan NU
dan Forum Demokrasi yang dipimpinya tampil menjadi sayap masyarakat sipil, ini
demi untuk menciptakan relasi yang seimbang antara sipil dan militer serta
mendorong kedua kelompok tersebut agar bisa memahami posisi masing-masing.
Oleh karenanya, dalam pengkajian mengenai
berbagai gagasan Gus Dur yang tak terhitung jumlahnya ini, kelima gagasan
kebangsaan tersebut di atas penting untuk direfleksikan kembali sebagai wahana
untuk menciptakan tatanan kehidupan bangsa yang humanis, demokratis dan berkeadilan,
sebagaimana yang menjadi komitmen dan cita-cita perjuangan Gus Dur semasa
hidupnya.
C. Konsep Pluralisme K.H Abdurrahman Wahid
Adapun kata
pluralisme berasal dari bahasa Inggris “plural” yang berarti jamak atau
banyak, adapun pluralisme itu sendiri berarti suatu paham atau teori yang
menganggap bahwa realitas itu terdiri dari banyak substansi. Pluralisme juga
sering digunakan untuk melihat makna realitas keragaman sosial-masyarakat sekaligus
sebagai prinsip atau sikap terhadap keragaman itu. Baik kemajemukan dalam unsur
budaya maupun keragaman manusia dengan segala aspeknya.[29]
1. Pribumisasi
Islam
Proses pertumbuhan Islam -sejak nabi Muhammad, sahabat, para ulama-
tidak serta merta menolak semua tradisi pra-Islam (dalam hal ini budaya
masyarakat arab pra-Islam). Tidak seluruh sistem lokal ditolak Islam, tradisi
dan adat setempat yang tidak bertentangan secara diametral dengan Islam dapat
diinternalisasikan menjadi ciri khas dari fenomena Islam di tempat tertentu.
Demikian juga proses pertumbuhan Islam di Indonesia tidak dapat lepas dari
budaya dan tradisi masyarakat.[30]
Agama dan budaya bagiakan uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Agama
(Islam) bersumberkan wahyu yang bersifat normatif, maka cenderung menjadi
permanen. Sedangkan budaya merupakan ciptaan manusia, oleh sebab itu
perkembangannya mengikuti zaman dan cenderung untuk selalu berubah. Perbedaan
ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk
budaya. Lebih lanjut Ia (Gus Dur) mengatakan:
”Tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus-menerus
sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak
gersang. Kekayaan variasi budaya memungkinkan adanya persambungan antar
berbagai kelompok atas dasar persamaan. Upaya rekonsiliasi antara budaya dan
agama bukan karena kekhawatiran terjadinya ketegangan antara keduanya, sebab
kalau manusia dibiarkan pada fitroh rasionalnya, ketegangan seperti itu akan
reda dengan sendirinya. Sebagai contoh redanya semangat Ulama dalam mempersoalakan
rambut gondrong”.[31]
Pribumisasi Islam dalam segi kehidupan bangsa merupakan suatu ide yang
perlu dicermati. Selanjutnya, Gus Dur mengatakan bahwa pribumisasi bukan
merupakan suatu upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan
budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti dari
pribumusasi Islam adalah kebutuhan untuk menghindari polarisi antara agama
dengan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.[32]
Gagasan
Abdurrahman Wahid ini tampak ingin memperlihatkan Islam sebagai sebuah agama
yang apresiatif terhadap konteks-konteks lokal dengan tetap menjaga pada
realitas pluralisme kebudayaan yang ada. Abdurrahman Wahid dengan tegas menolak “satu Islam” dalam ekspresi
kebudayaan misalnya semua simbol atau identitas harus menggunakan ekspresi
kebudayaan Arab. Penyeragaman yang terjadi bukan hanya akan mematikan
kreativitas kebudayaan umat tetapi juga membuat Islam teralienasi dari arus
utama kebudayaan nasional. Bahaya dari proses arabisasi adalah tercerabutnya
kita dari akar budaya kita sendiri.
Kemampuan orang Islam untuk memahami masalah-masalah dasar yang dihadapi
bangsa, dan bukan berusaha memaksakan agendanya sendiri. Kalau ini terjadi,
maka yang berlangsung sebenarnya hanyalah proses pelarian (eskapisme). Umat
Islam terlalu menuntut syarat-syarat yang terlalu idealistik untuk menjadi
muslim yang baik. kecenderungan
formalisasi ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat dan Islamisasi dalam bentuk
manifestasi simbolik ini jelas tidak menguntungkan karena hanya menimbulkan
kekeringan subtitusi. [33]
Bahkan Gus Dur
menolak adanya pencampuradukkan kebudayaan baik oleh kalangan agama maupun
kalangan birokrasi karena kebudayaan sangat luas cakupannya yaitu kehidupan
sosial manusia (human social life) itu sendiri. Birokkratisasi kebudayan yang dilakukan akan menimbulkan kemandekan
kreatifitas suatu bangsa. Kebudayaan sebuah bangsa pada hakekatnya adalah
kenyataan pluralistic, pola kehidupan yang diseragamkan atau dengan
kata lain sentralisasi adalah sesuatu yang sebenarnya tidak berbudaya.
Yang menjadi pertanyaan sekarang mampukah Islam tetap eksis dalam zaman
yang serba modern ataukah Islam tengelam dalam mimpi atas kejayaan para pemikir
terdahulu? Sebagai pemeluk agama yang baik dalam lingkup wawasan kebangsaan,
menurut Abdurrahman Wahid yaitu: selalu mengutamakan pencarian cara-cara yang
mampu menjawab tantangan zaman dan lokalitas kehidupan tanpa meninggalkan inti
ajaran agama. Selalu ada upaya untuk melakukan reaktualisasi ajaran agama dalam
situasi kehidupan yang konkrit, tidak hanya dicukupkan dengan visualisasi yang
abstrak belaka. Dalam bahasa lain agama berfungsi sebagai wahana pengayom
tradisi bangsa, sedangkan pada saat yang sama agama menjadikan kehidupan
berbangsa sebagai wahana pematangan dirinya.
Benar apa yang
dikatakan Abuddin Nata menyinggung perkataan dari Greg Barton bahwa:
Abdurrahman Wahid merupakan seorang tokoh yang cinta terhadap budaya Islam
tradisional (dalam hal ini khazanah pemikiran Islam yang dihasilakan oleh
ulama-ulama terdahulu). Namun kecintaan ini
bukan berarti keterlibatan dan penerimaan segala aspek budaya tradisional
karena Abdurrahman sangat kritis terhadap budaya tradisonal. [34]
Pribumisasi
Islam merupakan upaya dakwah (pola amar ma’ruf nahi mungkardiselaraskan
dengan konsep mabadi khoiro ummah). Pelaksanaan kongkritnya adalah menasionalisasikan perjuangan Islam,
dengan harapan tak ada lagi kesenjangan antara kepentingan nasional dengan
kepentingan Islam. Islam sebagai agama yang diakui di Indonesia selain
agama-agama yang lain diaktualisasikan sebagai inspirasi spiritual bagi tingkah
laku kehidupan seorang atau kelompok dalam bermasyarakat dan bernegara. Yang
dibutuhkan umat Islam Indonesia adalah menyatukan “aspirasi Islam” menjadi“aspirasi
nasional”.[35]
Salah satu wajah ketegangan adalah upaya untuk menundukkan kebudayaan
kepada agama melalui proses pemberian legitimasi. Legitimasi diberikan bukan
sebagai alat penguat, tetapi sebagai alat pengirim. Proses ini berfungsi melakukan penyaringan terhadap hal-hal yang
dipandang sesuai atau bertentangan dengan aturan-aturan agama.
Islam yang merupakan agama rahmatan lil alamin haruslah
senantiasa memberikan kontribusi dalam menjawab masalah yang timbul akibat
proses modernisasi. Mengapa demikian? Karena ajaran agama mempunyai peran yang
penting dalam berbagai segi kehidupan pemeluknya. Dalam hal ini agama dijadikan
tempat mencari jawaban atas problem-problem kehidupan para pemeluknya, oleh
karenanya tokoh agama mempunyai peran kunci dalam merumuskan kembali hukum
Islam yang lebih memperhatikan umat Islam dan non muslim dengan
mempertimbangkan realita (pluralitas masyarakat dan proses modernisasi serta
pengaruh globalisasi).
Selama ini hukum Islam hanyalah dijadikan “pos pertahanan” untuk
mempertahankan identitas keislaman dari pengaruh proses sekulerisasi.
Kecenderungan statis ini menunjukkan ketidakmampuan hukum Islam dalam menjawab
perubahan zaman yang aktual. Padahal hukum Islam masih memiliki peran yang
cukup besar dalam kehidupan masyarakat. Hukum Islam baru mampu menolak
kemungkaran, kebaktilan dan kemaksiatan dan belum mampu menjadi penganjur
kebaikan dalam arti yang luas.
2) Nilai-nilai
Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
Demokrasi merupakan salah satu tema besar yang perlu digaris bawahi dari
perjuangan dan pemikiran Abdurrahman Wahid. Baginya konsep demokrasi adalah
konsekuensi logis yang dianggapnya sebagai salah satu dimensi dalam ajaran
Islam. Alasan Gus Dur mengapa Islam dikatakan agama demokrasi. Pertama, Islam
adalah agama hukum, dengan pengertian agama Islam berlaku bagi semua orang
tanpa memandang kelas. Kedua, Islam memiliki asas permusyawaratan (amruhum
syuraa bainahum), artinya adanya tradisi bersama membahas dan mengajukan
pemikiran secara terbuka dan pada akhirnya diakhiri dengan kesepakatan. Ketiga,
Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan.[36]
Ide demokratisasi Abdurrahman Wahid muncul karena ia melihat ada
kecenderunagn umat Islam Indonesia menjadikan Islam sebagai “alternatif”
bukannya sebagai “inspirasi” bagi kehidupan masyarakat. Di sinilah letak
permasalahannya, Islam tidak bisa menyatakan sumbangannya lebih besar dan benar
dari yang lainnya karena semua pihak sama. Adanya penghargaan terhadap
pluralitas dengan menganggap mereka yang berada di luar sebagai orang mandiri.
Meskipun banyak orang mengatakan bahwa ia adalah seorang yang inkonsistensi, sering membuat manuver
dan ide-ide yang membingungkan dan dianggap menyesatkan umatnya. Namun justru
keinginannya menampilkan nilai-nilai Islam dalam segi kehidupan masyarakat
Indonesia yang plural menunjukkan ia sangat konsisten. Hal ini terlihat dari
perjuangan dan komitmennya dalam menyuarakan demokrasi, penegakan hak asasi
manusia (pembelaan terhadap kaum minoritas, termasuk pembelaan terhadap
perempuan) serta keadilan bagi setiap warga tanpa membedakan identitas serta
latar belakang ideologi.[37]
Lebih lanjut,
dalam rangka pembelaannya terhadap demokrasi dilakukan, ia tidak harus masuk
dalam sistem tetapi di manapun dan kapanpun usaha pembelaan tehadap demokrasi
dan keadilan terus dilakukakan. Ia secara tegas menolak
bergabung dengan ICMI dan memelopori berdirinya forum demokrasi (FORDEM)
sekaligus menjadi ketua Fordem. Ia sosok yang tak mau menyerah dan terkesan
bandel, meskipun keberadaannya di fordem mendapatkan kritikan tajam kiai senior
NU dan para cendikiawan muslim. Nurcholis Majid mengatakan:
…kalau Gus Dur tidak
masuk ICMI maka Gus Dur akan kehilangan basis intelektualnya.” Gus Dur segera
menjawab, “sejak kapan ICMI menjadi basis intelektual saya, basis intelektual
saya itu di pesantren, kiai pondokan, sekali lagi bukan ICMI.”[38]
Pembelaan terhadap minoritas mendapatkan perhatian yang serius dari Gus
Dur. Undang-undang menjamin akan perlakuan yang sama terhadap warga masyarakat
untuk: berpendapat, keamanan, memilih agama dan pindah agama dan seterusnya.
Muslim yang mayoritas harus dapat melindungi mereka yang minoritas.[39]
Merupakan pengingkaran hakekat demokrasi yang ingin kita tegakkan di
negeri ini, karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama mayoritas
menjadi warga negara kelas dua. Dalam keadaan demikian, persamaan kedudukan
semua warga negara di muka undang-undang tidak tercapai.[40]
Dalam konteks ke-Indonesi-an yang pluralistik hendaknya Islam tidak
ditempatkan sebagai ideologi alternatif seperti memposisikan syari’ah
berhadapan dengan kedaulatan rakyat. Kontribusi Islam dalam demokrasi bisa
dicapai bila dari Islam ditarik sejumlah prinsip universalnya seperti
persamaan, keadilan, musyawarah, kebebasan dan rule of law, karena
dalam satu aspeknya adalah merupakan agama hukum. Pemikiran demokrasi
Abdurrahman Wahid menunjukkan ia telah menerima konsep demokrasi liberal atau
parlementer dan secara tegas menolak pemikiran atau “kedaulatan Tuhan” atau
pemikiran yang berusaha mengawinkan kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan rakyat,
seperti yang dirumuskan oleh Dhiya’ ad-Din Rais.
“Saya bersedia memakai yang manapun asal benar dan cocok dengan hati
nurani. Saya tidak memedulikan kutipan dari injil, Bhagawad Gita kalau benar
kita terima. Dalam masalah bangsa ayat-ayat al Qur’an kita pakai secara
fungsional bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai
dalam persoalan mendasar. Tetapi aplikasi, soal penafsiran. Berbicara
penafsiran berarti bukan lagi masalah teologis tetapi sudah pemikiran.”[41]
Kedaulatan ada di tangan rakyat, ini merupakan kata kunci dari
“demokrasi”. Rakyat yang menentukan arah dan haluan negara menuju masa depan
dalam kehidupan yang adil dan beradab demi kesejahteraan bangsa dan negara.
Mereka akan menentukan masa depan bangsa ini. Yang jelas rakyat menginginkan
keadilan, kesejahteraan hidup lahir maupun batin, baik secara material maupun
spiritual.[42]
3) Prinsip
Humanis dalam Pluralitas Masyarakat
Dalam proses demokratisasi ada sesuatu keharusan, yang tak boleh
dilupakan dan diabaikan yaitu tentang kemanusiaan. Kemanusiaan ini tak dapat
diabaikan karena hakekat dari demokrasi adalah menempatkan manusia sebagai
subjek demokrasi itu sendiri.[43]
Dari sekarang sebenarnya telah dituntut dari kita kesediaan bersama untuk
memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang hidup di negeri
kita. Perjuangan itu haruslah dimulai kesediaan menumbuhkan moralitas baru
dalam kehidupan bangsa dan negara dalam kehidupan bangsa, yaitu moralitas yang
merasa terlibat dengan penderitaan rakyat di bawah.
Pandangan
Abdurrahman Wahid tentang kemanusiaan ini muncul karena masih adanya konflik
berkepanjangan yang terus terjadi hingga sekarang baik atas nama suku, ras,
golongan maupun yang mengatasnamakan agama di berbagai pelosok di Indonesia. Konflik yang berkepanjangan ini menunjukkan belum adanya penghargaan
terhadap kemanusiaan dan mudahnya orang main hakim sendiri. Dalam hal ini tokoh
agama, birokrat, pendidik, tokoh masyarakat berperan terhadap penananman
nilai-nilai agama yang berkaitan dengan moralitas.[44]
Agama samawi yang terakhir (Islam) menurut Abdurrahman Wahid memuat lima jaminan kemanusiaan. Jaminan itu antara lain: keselamatan
fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, jaminan
atas keyakinan agama masing-masing, keselamatan keluarga dan keturunan,
perlindunagn harta benda dan milik pribadi. Dari kelima jaminan dasar Islam
terhadap kemanusiaan menunjukkan bahwa Islam memperlakukan warga masyarakat
tanpa membedakan agama. [45]
4. Prinsip Keadilan dan
Egaliter
Demokrasi dikatakan berhasil jikalau warga masyarakat mendapatkan
keadilan. Demokrasi terasa berkeadilan apabila ada kesetaraaan
(egalitarianisme) warga masyarkat baik di depan undang-undang, hukum maupun
dalam lembaga birokrasi dengan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama tanpa
adanya diskriminasi gender, warna kulit, pribumi-keturunan, etnis, idiologi,
dan agama.[46]
Jika dikaitkan dengan keadilan, demokrasi hanya dapat tegak dengan
keadilan. Kalau Islam menopang demokrasi, maka Islam juga harus menopang
keadilan. Sebagaimana difirmankan oleh Allah, “wahai orang-orang yang
beriman, hendaknya kalian menegagkan keadilan”. Perintah ini sangat jelas,
yakni perlunya ditegakkan keadilan dalam segala bentuk, baik keadilan hukum
maupun keadilan sosial.[47]
Keadilan sosial
ini sangat penting karena salah satu patokan Islam adalah kaidah fiqh: langkah
dan kebijaksanaan para pemimpin mengenai rakyat yang mereka pimpin haruslah
terkait sepenuhnya dengan kesejahteraan rakyat yang mereka pimpin itu. Karena orientasinya adalah kesejahteraan rakyat, maka keadilan sangat
dipentingkan. Orientasi kesejahteraan inilah yang membuktikan demokratis atau
tidaknya kehidupan suatu masyarakat”.[48]
Dari uraian di
atas dapat tarik benang biru bahwa perbedaan agama, budaya, etnis harus
dipahami dengan sikap yang bijak dan arif dari semua pihak tanpa mengunggulkan
kelompok sendiri sembari merendahkan kelompok lain. Tiap kelompok masyarakat mempunyai kedudukan yang sama dalam hak dan
kewajiban sebagai warga negara dalam membangun Indonesia. Dengan rasa solidaritas,
keterbukaan, toleransi dan dialog kita membangun Indonesia yang berdudaya dan
beradab, aman dan damai.
BAB III
SIMPULAN
Gagasan kebangsaan jika dihubungkan dengan perspektif Gus Dur
adalah konsepsi cara pandang hasil dari pemikiran seorang Gus Dur yang orisinil
mengenai (yang bertalian dengan) bangsa, yang bertujuan untuk memahami
keberadaan jati diri sebagai suatu bangsa dalam memandang dirinya dan bertindak
sesuai dengan falsafah bangsa yang dianut.
Berbagai gagasan kebangsaan yang dikedepankan oleh Gus Dur diambil
dari sekian banyaknya pemikiran beliau, disederhanakan dalam tiga poin besar
yakni: Humanisme, Demokrasi, dan Berkeadilan. Dan juga dari berbagai gagasan
dan pemikiran Gus Dur, ada satu yang perlu kita selalu dengungkan untuk mempertajam
cinta kasih terhadap negara. Yaitu, prinsip Gus Dur yang berkaitan dengan
relasi antara Islam dan kebangsaan. Dalam pandangan Gus Dur, keduanya tidak
harus didudukkan di dalam posisi yang saling bertentangan.
Isi dari kajian mengenai gagasan kebangsaan dalam perspektif Gus
Dur itu sendiri, antara lain: Humanisme, Multikulturalisme, dan Hubungan Islam
dengan Pancasila. Adapun mengenai kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris
“plural” yang berarti jamak atau banyak, adapun pluralisme itu sendiri berarti
suatu paham atau teori yang menganggap bahwa realitas itu terdiri dari banyak
substansi. Pluralisme juga sering digunakan untuk melihat makna realitas
keragaman sosial-masyarakat sekaligus sebagai prinsip atau sikap terhadap
keragaman itu. Baik kemajemukan dalam unsur budaya maupun keragaman manusia
dengan segala aspeknya. Untuk konsep pluralisme yang menjadi ciri khas dari gagasan
dan pemikiran Gus Dur itu sendiri, terdiri dari berbagai materi: Pribumisasi
Islam, Makna Nilai Demokrasi dan HAM, Konsep Humanisme dan Pluralitas
Masyarakat, dan Prinsif Keadilan serta Egaliter.
Akhirnya, dalam pengkajian mengenai berbagai gagasan Gus Dur yang
tak terhitung jumlahnya ini, kelima gagasan kebangsaan tersebut di atas penting
untuk direfleksikan kembali sebagai wahana untuk menciptakan tatanan kehidupan
bangsa yang humanis, demokratis dan berkeadilan, sebagaimana yang menjadi
komitmen dan cita-cita perjuangan Gus Dur semasa hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Abdul.
2008. Membumikan Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Jadra, Muhammad. 2005. Pluralisme Baru dan Cinta Kebangsaan.
Bandung: Tafsir Baru.
Muhaimin. 2008.
Sang Pembaharu Abad ke-20 (Perjalanan Hidup Gus Dur). Jakarta: Indira.
Munajat, Ahmad.
2005. Menyingkap Pluralisme Gus Dur (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit.
Murod, Makmun.
2003. Analisa Pemikiran Nurkholis Madjid dan Gus Dur mengenai Negara. Jakarta:
Madani Press.
Nata, Abuddin. 2001. Tokoh Pembaharu Islam di Indonesia. Jakarta:
Insani.
Reksa, Mastuhu.
2001. Terjemahan kitab Al-Mustasyfa Jilid I karya Imam Al-Ghazalli. Bengkulu:
Bangalore Press.
Wahid, Abdurrahman. 2008. Islam-ku, Islam Anda, Islam Kita.
Jakarta: Rajawali Press.
http://samasyari.blogspot.com/definisi-gagasan-para-ahli/. Diakses tanggal 14/04/2016
http://jarkom.wordpress.com/definisi-kebangsaan/. Diakses tanggal 14/04/2016
http://NU.ac.id/gagasan-islam-dan-pancasila-ala-gusdur/. Diakses tanggal 14/04/2016
http://NU.ac.id/haul-ke-lima-gus-dur/. Diakses tanggal 14/04/2016
http://gusdurian.com/peran-gusdur-yang-tak-kunjung-padam-untuk-indonesia/.Diakses tanggal 14/04/2016
[1] Memiliki berbagai dimensi (pemikiran, nilai, gagasan, dasar, dsb).
[2] M. Jadra, “Pluralisme Baru dan Cinta Kebangsaan”, Amin Abdullah, dkk,
Tafsir Baru…, hlm 289
[3] http://samasyari.blogspot.com/definisi-gagasan-para-ahli/.
Diakses tanggal 14/04/2016
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] WJS. Poerwadarminta. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. Ke-II. 1999.
[8] http://jarkom.wordpress.com/definisi-kebangsaan/.
Diakses tanggal 14/04/2016
[9]Murod, Makmun. 2003. Analisa Pemikiran Nurkholis Madjid dan Gus Dur mengenai
Negara. Hal. 72
[10] Ibid.
[11] Op,.Cit
[12] Murod, Makmun. 2003. Analisa Pemikiran Nurkholis Madjid dan Gus Dur
mengenai Negara. Hal. 76
[13] Muhaimin, sang pembaharu abad ke-20, 2008 hal.65
[14] Reksa Mastuhu. Terjemahan kitab Al-Mustasyfa karya Imam Al-Ghazali,
Jilid I. Hal. 287
[15] Muhaimin, sang pembaharu abad ke-20, 2008 hal.65
[16] Ibid. Hal. 65
[17] Ibid. Hal.65
[18] Op,.Cit. hal. 65
[19] Ibid. Hal. 66
[20] http://NU.ac.id/gagasan-islam-dan-pancasila-ala-gusdur/.
Diakses tanggal 14/04/2016
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] http://NU.ac.id/gagasan-islam-dan-pancasila-ala-gusdur/. Diakses
tanggal 14/04/2016
[24] http://gusdurian.com/peran-gusdur-yang-tak-kunjung-padam-untuk-indonesia/.
Diakses tanggal 14/04/2016
[25] Ibid.
[26] Hadi, Abdul. 2008. Membumikan Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University. Hal. 90
[27] http://NU.ac.id/gagasan-islam-dan-pancasila-ala-gusdur/. Diakses
tanggal 14/04/2016
[28] http://NU.ac.id/haul-ke-empat-gusdur/.
Diakses tanggal 14/04/2016
[29] Ahmad Munajat, Menyingkap Pluralisme GusDur, edisi revisi 2005 hal. 34
[30] Ibid.
[31] Jadra, Muhammad. 2005. Pluralisme Baru dan Cinta Kebangsaan. Bandung:
Tafsir Baru. Hal. 82
[32] Ibid. Hal. 35
[33] Abdul Hadi, Membumikan Islam di Indonesia, 2008, hal 48
[34] Abuddin Nata, Tokoh Pembaharu Islam Di Indonesia, 2001, Hal.53
[35] Ibid. Hal.54
[36] Abdurrahman Wahid. Islam-ku, Islam Anda, Islam Kita. 2006. Hal. 105
[37] Muhaimin. 2008. Sang Pembaharu Abad ke-20 (Perjalanan Hidup Gus Dur).
Hal. 51
[38] Makmun Murod, analisa pemikiran Nurkholis Madjid dan Gus Dur mengenai
negara, 2003, hal. 23
[39] Ibid. Hal. 25
[40] Ibid.
[41] Murod, Makmun. 2003. Analisa Pemikiran Nurkholis Madjid dan Gus Dur mengenai
Negara. Hal. 55
[42] Ibid. Hal. 54
[43] Ibid.
[44] http://gusdurian.com/peran-gusdur-yang-tak-kunjung-padam-untuk-indonesia/.Diakses
tanggal 14/04/2016
[45] Abdurahman Wahid, Islam-ku, Islam Anda, Islam Kita. 2006, hal.317
[46] Murod, Makmun. 2003. Analisa Pemikiran Nurkholis Madjid dan Gus Dur
mengenai Negara. Hal. 58
[47] Ibid. Hal.60
[48] Ibid.
Komentar
Posting Komentar